Friday, August 12, 2011

Surat dari seorang Ibu untuk Menantu laki-laki

Surat dari seorang Ibu untuk Menantu laki-laki


Surat dari seorang Ibu untuk Menantu laki-laki

Sahabat kali ini masih mengenai surat,surat kali ini dari ibu untuk menantu laki-laki sahabat. Suratnya berisikan sebagai berikut sahabat.
aku hanyalah seorang ibu yang berbicara atas nama diriku sendiri dengan melihat putriku sebagai istrimu dan engkau sebagai menantuku. bila engkau membaca pesan ini semoga engkau melihat pula bayang wajah ibu yang telah mengandung dan melahirkanmu, berdiri bersamaku tepat dihadapanmu.

WAHAI MENANTUKU:
bukankah engkau sudah berjanji akan menjadi imam dunia akherat untuk putriku. bukankah engkau juga telah bersumpah untuk membawanya hingga ke baka dan memberinya satu tiket ke surga.

WAHAI MENANTUKU:
bila ada kelemahan dari istrimu dan seribu lagi keburukan yang dilakukannya akibat kelemahan dan juga karena kekurangan darinya, bukankah menjadi tugasmu untuk mendidiknya sekarang, begitu yang seharusnya.

WAHAI MENANTUKU:
diajarkan kepadamu oleh Nabi bahwa seorang suami tak boleh membiarkan mata istrinya basah walau hanya serupa tetesan embun dini hari. bukankah engkau sebagai suaminya yang harus melindunginya dengan rasa tentram dan aman. maka berikanlah keteduhan bagi jiwanya.

WAHAI MENANTUKU:

engkau suami yang dipilih Tuhan untuk putriku, bersabarlah terhadap istrimu dan tetaplah bersikap lemah lembut padanya. bukankah engkau menikahinya atas nama Tuhanmu maka sayangi dan peliharalah istrimu dengan jalan Tuhan.

WAHAI MENANTUKU:
sebagian besar penghuni neraka adalah perempuan dan itu disebabkan mereka durhaka terhadap suaminya, maka selamatkanlah istrimu dari dosa yang lebih besar. bukankah nantipun engkau akan ditanya tentang tanggung jawab bagaimana kau mengurus mereka dan menjaga jalan surga untuk bisa di lalui oleh yang harus kau bawa serta.

WAHAI MENANTUKU:
engkau di ijinkan menghukum istrimu sewajarnya namun janganlah mengenai wajahnya dan jangan pula menyentuh tubuhnya hingga meninggalkan jejak luka. janganlah menghardiknya dengan kata-kata kasar dan umpatan yang merendahkan seolah engkau turut menistakan dirimu sendiri sebab ia juga adalah pakaianmu...

Semoga kelurga kalian bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah, Aamiin

Surat dari seorang Ibu untuk Menantu laki-laki

Surat Untuk Ibu

Surat Untuk Ibu

 Sahabat cerdas, untuk bisa berkomunikasi dengan seseorang itu tidak hanya berbicara saja tetapi banyak cara seperti: isyarat,sms atau menulis surat.Nah sahabat berikut ini cerdas sekali sahabat,seorang anank ingin berbicara dengan ibunya tetapi ia takut dimarahi maka ia menulis surat untuk ibunya. Suratnya berisikan sebagai brikut.
Ibuku sayang, aku mau cerita sama Ibu, tp ceritanya pake surat ya... kan Ibu sibuk, capek, pulang sdh malam... kalo aku byk ngomong, nanti Ibu marah2 kyk kemarin, aku jadi takut dan nangis..
Kalo pake surat Ibu kan bs sambil tiduran bacanya.

Bu, boleh gk aku minta ganti Mbak? Mba Jum suka galak...
Kalo aku gk mau makan, piringnya suka dibanting depan aku..
Kalo siang, aku disuruh tidur, ngga boleh main, pdhl Mbak kerjanya cm nonton sinetron  aja...

Bukannya kata Ibu mbak itu untuk temenin aku main?
Aku pernah liat Mbak lg ngobrol sm tukang roti di teras rumah, pdhl kata Ibu kan ngga boleh ada tukang2 yg msk rumah khan? Kalo aku bilang gitu sm mba, mba marah bgt dan ktnya kalo aku ngadu ke Ibu, mba mau berhenti kerja...

Kalo mbak berhenti kerja nanti Ibu repot ya.. Ibu gk bs kerja ya? Nanti gk ada yg jagain aku di rumah..?

Mbak ngga diganti jg gk papa deh, tp Ibu bilangin ke mbak ya, jgn suka galak sm aku, jgn suka pukul aku..

Ibu, mulai thn ini, Ulang Tahunku Ibu gk usah beli hadiah lg. Ibu gk usah beli baju & mainan mahal lagi..
Uangnya Ibu tabung aja, nanti kalo tabungan Ibu udh byk kan Ibu gk usah capek2 kerja lg... Gk papa kok gk dpt mainan baru. Lbh asyik main sm Ibu.

Udah dulu ya bu, aku ngantuk.
Ibu jgn lupa makan, trus bobo. Kan bsk pagi2 hrs udh brgkt kerja.
I Love You, Mom...

Kdg uang mengalahkan semuanya dg dalih mmnuhi kebuth hidup...

Tahukah anda, saat kita pensiun atau meninggal, perush memiliki ratusan, bhkn ribuan orang utk menggantikan kita...

Tp sadarkah kita, tidak ada satupun yg bs mgantikan kita di hati, pikiran, dan ingatan ANAK kita yg tercinta di rumah...
Saat wkt sdh berlalu, mk kita tdk pny kekuatan utk mbalikkan wkt lg, kembali ke saat mrk mbutuhkan kita utk bermanja2..

Anak adl milik TERINDAH yg kita punya.
Jagalah ia dg cinta, sblm Allah memintanya kembali
Kematian Yang Indah

Kematian Yang Indah






Sahabat cerpenhik ini cerpen sangat menarik ,kita tidak tahu kapan kita menghadapi kematian.
Luangkanlah waktu sejenak untuk membaca dan merenungkan pesan ini...
Alhamdulillah, Anda beruntung telah terpilih untuk mendapatkan kesempatan membaca ini.
Aktifitas keseharian kita selalu mencuri konsentrasi kita. kita seolah lupa dengan sesuatu yang kita tak pernah tau kapan kedatangannya.
Sesuatu yang bagi sebagian orang sangat menakutkan.Tahukah kita kapan
kematian akan menjemput kita???
Berikanlah waktu anda dan bacalah sampai habis, semoga dapat menjadikan
hikmah buat kita semua dan sadar, bahwa kita akan mati dan tinggal
menunggu waktunya,
semoga kita termasuk dlm orang2 yg khusnul khotimah.... amien.... .
Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku
dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar doa ibuku saat pulang
dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam
shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama,
apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku sungguh heran, bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri :
"Alangkah sabarnya mereka....setiap hari begitu...benar- benar mengherankan!"
Aku belum tahu bahwa disitulah kebahagiaan orang mukmin dan itulah
shalat orang2 pilihan. Mereka bangkit dari tempat tidurnya untuk munajat kepada Allah.
Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang
matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah padahal berbagai nasehat
selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu. Setelah tamat dari
pendidikan, aku ditugaskan di kota yang jauh dari kotaku.
Perkenalanku dengan teman2 sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing. Disana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur'an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati. Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol.. Di samping menjaga keamanan jalan,tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian .... banyak waktu luang ... pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh ... tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang2 yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas.. Sampai suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang hingga kini tak pernah aku lupakan. Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas disebuah pos jalan.. Kami asyik ngobrol ... tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengedarkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah yang berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban. Kejadian yang sungguh tragis.
Kami lihat dua awak salah satu mobil dalam kondisi kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat2 menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan.
Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat. Ucapkanlah
"Laailaaha Illallaah ..... Laailaaha Illallaah .." perintah temanku.. Tetapi sungguh mengerikan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding.. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat ...Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat.Tetapi keduanya tetap terus saja melantunkan lagu. Tak ada gunanya .... Suara lagunya terdengar semakin melemah .... lemah dan lemah sekali.. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua tak ada gerak .... keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil. Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatahpun. Selama perjalanan hanya ada kebisuan. Hening...
Kesunyian pecah ketika temanku mulai bicara...Ia berbicara tentang hakikat
kematian dan su'ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata "Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk..
Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia.
Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yg diriwayatkan dalam buku2 islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan kerumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa
kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa
ini benar2 memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat khusyu' sekali. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali
pada kebiasaanku semula ... Aku seperti tak pernah menyaksikan apa yang
menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu yang lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu2. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pernah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu. Kejadian yang menakjubkan !.
Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu .... sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang mengendarai
mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah
terowongan menuju kota . Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang
kempes. Ketika ia berdiri dibelakang mobil untuk menurunkan ban serep,
tiba2 sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itupun langsung tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan (bukan yang menemaniku pada peristiwa pertama)
cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan. Dia masih sangat muda, wajahnya begitu bersih.Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Subhannallah.. ! Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ... dengan suara amat lemah. Subhanallah ! dalam kondisi kritis seperti itu ia masih sempat melantun kan ayat-ayat suci Al-Qur'an ? Darah mengguyur seluruh pakaiannya, tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup, aku tak pernah mendengar bacaan Al-Qur'an se indah itu.
Dalam batin aku bergumam sendirian "Aku akan menuntunnya membaca
syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu ... apalagi
aku sudah punya pengalaman." aku meyakinkan diriku sendiri. Aku dan
kawanku seperti terhipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur'an yang
merdu itu.
Sekonyong-konyong sekujur tubuhku merinding, menjalar dan menyelusup ke
setiap rongga. Tiba-tiba, suara itu terhenti. Aku menoleh kebelakang. Ku saksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, degup jantungnya, nafasnya, tidak ada yang terasa...
Dia telah meninggal. Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah meninggal. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul2 sangat mengharukan. ...Sampai di rumah sakit .....Kepada orang-orang di sana , kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan.
Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata.
Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri
jenazah dan mencium keningnya. Semua orang yang hadir memutuskan untuk
tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. . . Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah. Semua ingin ikut menyolatinya.
Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut
mengantar jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan, ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari senin. Disana almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin.
Ketika terjadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah2an dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku2 agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi2kan kepada orang2 yang dia santuni. Bahkan juga membawa permen untuk dibagikan kepada anak-anak kecil.
Bila tiba saatnya kelak, kita menghadap Allah Yang Perkasa. hanya ada satu harap, semoga kita menjadi penghuni surga. Biarlah dunia jadi kenangan, juga langkah-langkah kaki yang terseok, di sela dosa dan pertaubatan.
Hari ini, semoga masih ada usia, untuk mengejar surga itu, dengan amal2 yang nyata : "memperbaiki diri dan mengajak orang lain "
Allah Swt berfirman: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang
siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh
ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. " (QS. Al-Imran:185)
Rasulullah Saw telah mengingatkan dalam sabdanya, "Barangsiapa yang
lambat amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya."
Saudaraku, siapa yang tau kapan, dimana, bagaimana, sedang apa, kita
menemui tamu yang pasti menjumpai kita, yang mengajak menghadap Allah
SWT.
Orang yang cerdik dan pandai adalah yang senantiasa mengingat kematian
dalam waktu-waktu yang ia lalui kemudian melakukan persiapan persiapan
untuk menghadapinya.
Note : amalkan ilmu, sampaikan walau satu ayat, salah satu amalan yang
terus mengalir walau seseorang sudah mati adalah ilmu yang bermanfaat.
Begitulah hendaknya engkau nasehati dirimu setiap hari karena engkau
tidak menyangka mati itu dekat kepadamu bahkan engkau mengira engkau
mungkin hidup lima puluh tahun lagi, Kemudian engkau menyuruh dirimu
berbuat taat, sudah pasti dirimu tidak akan patuh kepadamu dan pasti ia
akan menolak dan merasa berat untuk mengerjakan ketaatan.
Nasehat ini terutama untuk diri saya sendiri, dan saudara-saudaraku seiman pada umumnya.
Orang Cerdas Adalah Orang Yang Mengingat Akan Kematian,
Semoga bermanfaat bagi kita semua, Amiin.....
dari seorang sahabat...,
Posted by Hadrian Maulana

Sunday, August 7, 2011

Cerpen Cinta - Cowok And His Mind

Cerpen Cinta - Cowok And His Mind

Cerpen Cinta - Sahabat Pesona.berikut ini adalah pembelaan diri lelaki kepada wanita. Mungkin  pembelaan ini bisa merubah pikiran jelek para wanita kepada lelaki.
Mungkin, kalian para wanita berfikir bahwa kami selalu menginginkan wanita hanya berdasar fisik saja, cantik, seksi, elegan, imut.

Tapi taukah kalian itu hanya kriteria awal saja?

Memang pada awalnya kami mendekati kalian karena faktor itu, tapi saat sudah masuk ke jenjang pacaran, kami jauh memilih hati kalian dari pada fisik kalian.

Kami setuju dengan pendapat kalian bahwa wanita mana yg nggak matre?

tapi kalau dari awal kalian sudah menunjukan kematrean kalian, kami akan berpikir dua kali

sebab kita kaum cowok yg membiayai biaya shoping dan hidup kalian nantinya'

Kalian juga suka berkata : cowok itu egois, nggak perhatian, cowok lebih mengutamakan kerja dari pada wanitanya.?

Mari kita sederhanakan saja :

wanita mana yg nggak mau hidupnya bahagia?

wanita mana yg mau melarat? Dan pria mana yang tega melihat wanitanya menderita?

Taukah kalian, kami mengutamakan kerja demi anak istri di masa depan?

Supaya kalian hidup bahagia..

inilah bentuk perhatian kami  sesungguhnya.

Mungkin kalian berpikir bahwa kami  akan menginggalkanmu saat tua nantinya?

karena sudah nggak cantik, tapi pria itu juga punya perasaan nggak hanya logika saja'

sebab dari kalianlah kami punya keturunan.

kalian yg kasih kami suport dan perhatian.

kecantikan itu nggak abadi, tapi perhatian dan kasih sayang yg abadi!

Ingat kah kalian? saat kalian pergi, kami selalu berkata:

-kalo sudah sampe kasi tau ya
-hati2 d jalan
-jaga diri, bla bla..

Walau singkat, itu adalah bentuk perhatian kami dari lubuk hati yg terdalam yg hendak mengatakan:
                  I LOVE YOU

Kami memang mengunakan logika, karena itu kodrat kami

tapi bukan berarti kami tidak berperasaan?

kami tetap berusaha menjaga kalian dgn sepenuh hati, walau kadang kami terkesan kaku'

Kami tidak menuntut macam2, hanya perhatian, kami hanya ingin yg terbaik untuk kalian..

karena sebenarnya bersama kalian sudah cukup membahagiakan kami.!!

LOVE U ALWAYS.

Thursday, August 4, 2011

Cerpen Cinta : Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Cerpen Cinta : Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Sahabat dari judul cerpennya saja sudah menggambarkan dalam pikiran kita bahwa penderitaan yang kita dapatkan dalam pencarian cinta itu dapat mengabadikan cinta itu sendiri.
"Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk
kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr.
Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo
dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf
terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua
mempelai. Kepada Professor dipersilahkan..."

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan
resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di
tepi sungai Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-
nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan
dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering
nongol di televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih
melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya
memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa
ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan
kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium,
kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat
sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma
ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat
lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada
kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...

Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan
bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai
harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya.
harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan
Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah
mutiaranya dan buanglah lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Tiga puluh tahun yang lalu ...

Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan
menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi,
keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah
terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di
Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang
memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik
di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup
dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan
hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat.
Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan
aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini.
Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang
didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya
cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman
dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan
perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka
menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial
keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat
dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun
saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu
mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah
dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke
luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya.
Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan
keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza
yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah.
Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil
biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para
dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.

"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas
ayah.

Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di
hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang
penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan,
kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya
menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan
tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis
yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa
telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk
menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu
ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi
di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua
menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan
yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan
hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu,
dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan,
kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam
memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.

Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu
saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan
membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum:
Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan
dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak
saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin
yang tak terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan
dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki
sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya
dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi
yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia
lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun
dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya
membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui.
Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya
sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada
perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di
jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-
jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili
pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui
dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah
menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah
dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu
yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga
besar Al Ganzouri."

Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan
ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda
kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah
dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan
hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan
pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-
apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci
yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya.
Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,
dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la
haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau
setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-
mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau
menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya
sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak
pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan
keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan
bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke
kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang
sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun
untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab
imam Hanafi.

Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya
terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan
mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam
Abu Hanifah."

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata
3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah
itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah
di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar
menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum
berakhir.

Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah
kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan
mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari
rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari
rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa
potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang
saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih
tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang
sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound
atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua
bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan
Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa
cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya
saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan
jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup
menjalari sukma kami.

"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti
ini. Maafkan Kanda!"

"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita
telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak
bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir
anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan
tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita
tempuh ini.

Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama
kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan
buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan
keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita
ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan
mereka akan menangis haru.

Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita
kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah
rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika.
Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi
dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan
menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk
di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa.
Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak
mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang
juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah
toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman
sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala
kadarnya yang murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan
kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus
mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta,
kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami
berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra
Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin
dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan
mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus
dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,
jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia
bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah
sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang
jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari
25 pound saja untuk 3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu
kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih
dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu
kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua
cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa
tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini
kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta?
Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-
orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah
menjanjikan cinta.

Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya
persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah
untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah
di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh
lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa
dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh
Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya.
Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah
SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an
dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang
berhak memperoleh segala cinta di surga.

Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan
tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah
Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu
siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia
memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad
untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia
juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa
sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup
untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan
kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan
dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-
sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter
itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara
seperti Mamduh dan isterinya."

Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi
nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan
kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri
agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami
memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada
yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan
pertolongan-pertolongan mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan
yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan
tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.
Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami
digedor dan didobrak oleh 4 ..::makhluk yang lucu::.. kiriman ayah
saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-
satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur
tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam
dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan
ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan
Pasha."

Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala
itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat ..::makhluk yang
lucu::.. itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi
nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang
hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami
masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek
tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan
kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman
inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi
hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah
merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan
tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen
militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan
undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah
total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak
mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman
karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil
membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk
bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu
terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa
berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil
meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai
isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu,
sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara
saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu
tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya
takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6
pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang
sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur
karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba-Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia
mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah
kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan
rahmat Allah SWT.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu
kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan
keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang
putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya
teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup
bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung

Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari
nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta.
Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras
untuk masuk program Magister bersama!

"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah
saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari
pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan
keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh
untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat
tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya,
kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian
cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa
tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita
sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah
kita."

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku
pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran
dan kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami
memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan,
sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek,
buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan
roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari
awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut
kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama
dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami
obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa
uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan
itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah
menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri
saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab.
Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi
dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan
saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup
sengsara layaknya gelandangan.

Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang
asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di
rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.

Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang
luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan
rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya
adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya
dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan,
dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh
cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan
terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di
dunia ini.

"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra
sambil tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih
gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja!
Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister
pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada
istilah makan enak dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami
berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan
untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka,
kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang
mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal
masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir
setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia
kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program
Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita
lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar
Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak
ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil
merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah
menyediakan dana tambahan."

Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol
gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya
spesialis jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak
kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya
diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai
wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai
dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam
suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah
sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali
laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling
dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah
lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah
swt dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika
hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan
mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak
pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka
lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum
ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah
istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa
mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok
perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru.
Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga
merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru
kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini
dengan seksama.

Dari milis Airputih