Aku Menangis Untuk Adik 6 Kali
Sahabat pemikir cerdas berikut adalah sebuah cerpen yang sangat bagus. Menghargai dan mencintai menjadi landasan perjalanan hidup dalam keluarga. Nah berikut kisahnya eeepppppsss sebelum membaca lebih baik sediakan tisu hihihhih.
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih
muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana
semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima
puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku,
terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku,
jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak
dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat
panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu
marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan
memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan
apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul
sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu
dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka,
tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam
itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu
membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju
mengaku. Bertahun- tahun telah lewat,tapi insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang
adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada
saat yang sama,saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas
propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya mendengarnya memberengut,
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu
baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa
gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat
itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah,
saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca banyak
buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
“Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang
aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak
laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah
memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa
sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan
rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah
mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik
kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya
akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.” Aku memegang kertas
tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran
sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan
uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi,
aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku
sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana
penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan
air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya,
dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa
pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
“Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga
harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,
ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke
rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di
mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di
depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah
adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika
memasang kaca jendela baru itu..”
Aku
masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan membalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu
tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku
membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun
ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika
aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang
orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak
pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak
akan tahu harus mengerjakan apa.
Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah
di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja
sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga
untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan
masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips
putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang
yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak
ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan
dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga
karena aku!” “Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku
kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun
itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia
melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak
dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang
berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk
pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu
dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia
hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di
rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai
ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah,
selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk
tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “
Dalam
hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam
kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini,
air mata bercucuran turun dari wajahku
seperti sungai.
Sumber: Diterjemahkan dari “I cried for my brother six times”
Aku Menangis Untuk Adik 6 kali