Monday, December 5, 2011

Cerpen Cinta : He'd Never Stop

Cerpen Cinta : He'd Never Stop kali ini Pemikir cerdas memberikan sebuah Cerpen Cinta  yang sangat bagus juga romantis bange, judulnya yaitu He'd Never Stop kisah waita yang sangat mencintai seorang pria, pastinya teman teman sangat penasaran dengan cerpen ini, so langsung baca aja dech


Pyaarr! Gelas berisi Cappuccino Mousse yang dipenuhi beberapa balok es batu itu terlepas dari tanganku, pecah berceceran di lantai keramik halaman rumah baruku. Sial! Padahal aku belum mencicipinya. Dengan dada yang tiba-tiba terasa sesak dipenuhi amarah meluap-luap, kuhampiri penyebab jatuhnya minuman buatanku sendiri itu. Sebuah bola basket yang sudah kusam tampak dengan santainya bergerak-gerak di dalam sebuah pot bunga lavender yang baru saja bersemi dua hari yang lalu. Sial. Bungaku ikut berantakan dan bahkan potnya sedikit retak!

 Aku segera keluar dari pagar besi halaman rumah sambil menenteng bola basket keparat itu. Mencari-cari kira-kira siapa pemiliknya. Kutoleh ke kanan dan ke kiri, tetap tak kulihat satu orang pun di sekitar sini. Apa ini bola setan? Pasti pelakunya masih berada di sekitar sini.

Setelah yakin dan pasrah karena tak juga menemukan pelakunya, kuputuskan untuk kembali ke rumah. Percuma mencari-cari seseorang yang pasti sudah kabur dari tadi. Saat berbalik, tubuhku hampir saja menabrak seseorang. Tubuhnya tinggi, kira-kira dua puluh sentimeter lebih tinggi dariku. Wajahnya pucat dengan rahang yang mengeras dan gigi yang gemeretak menahan emosi. Matanya yang hitam legam menatapku tajam, membuatku merinding seketika. Aku susah payah menelan ludah. Dengan kasar, direbutnya bola basket yang ada di tanganku yang gemetar. Setelah itu, dia berlalu begitu saja. Bahkan dia tidak meminta maaf! Dasar cowok tidak tahu diri!
“Elberta! Apa yang kaulakukan di sini?”
“Eh, Nicola?”
“Kau benar-benar tampak seperti orang tolol. Lihat pakaianmu!”
“Eh?”
Nicola benar! Gawat! Mana mungkin aku berhadapan dengan seorang cowok yang baru kukenal dengan pakaian seperti ini? Pajama berwarna putih pucat yang tingginya hanya sepuluh sentimeter di atas lututku. Gila!
“Wajahmu merah, Elberta. Tenang saja, kita ‘kan sama-sama cewek. Lebih baik kau segera masuk ke dalam rumah sebelum orang lain melihatmu. Cepat!” didorongnya tubuhku yang masih terpaku di tempat.

***

            “Kau ada perlu apa? Tumben tidak menghubungiku dulu.” Apfelkuchen di hadapanku masih mengepul hangat, membuatku tidak sabar untuk segera melahapnya.
Well, sebenarnya aku tidak berniat ke rumahmu. Aku hanya sedang berjalan-jalan, tapi saat aku melihatmu tadi, aku jadi ingat film yang kau ceritakan padaku waktu itu. Kelihatannya keren!”
Spoorloos?”
“Tepat sekali! Dan kau tahu, teman-teman sekelas kita banyak yang terkena demam setelah menonton film itu. Aku jadi penasaran.”
“Sudah puluhan kali kau menceritakannya padaku, Nic.”
“Aku betul-betul ingin menontonnya dan membuktikan bahwa mereka penakut!”
“Mereka demam bukan karena film itu, tetapi karena kondisi badan mereka memang sedang tidak sehat ketika menontonnya.”
“Ah, kau ini. Buktinya, Roberto, Vincent, Allen, dan Edeline menderita demam bersamaan dan suhu tubuhnya tinggi tepat setelah menonton film itu.”
“Buktinya, aku yang sudah lebih dari tiga kali menontonnya, tidak pernah menderita demam. Kau memang berelebihan.”
Spoorloos merupakan sebuah film produksi Belanda, film psikopat paling jahat dan mengerikan yang disutradarai oleh George Sluizer. Nicola yang berlebihan itu selalu menganggap setiap orang yang telah selesai menonton film itu akan langsung sakit, demam, dan semacamnya.
“Jadi bagaimana? Kau mau meminjamiku film nya ‘kan?”
“Aku rasa, sudah puluhan kali kau berniat ingin meminjam film itu, tetapi toh ujung-ujungnya pasti kau sendiri yang pura-pura lupa atau tiba-tiba merasa sedang tidak mood untuk menontonnya.”
“Kali ini aku benar-benar akan meminjamnya darimu!”
“Mengaku saja bahwa kau sebenarnya takut menonton film thriller seperti itu, Nic!” aku menjulurkan lidah, dan wajah gadis itu bersemu merah.
“Ah, kau ini selalu mengolokku. Akan kubuktikan bahwa aku bukan penakut seperti mereka!”
Dan Nicola pun naik ke lantai atas, ke mana lagi kalau bukan ke kamarku. Aku segera mengikutinya dari belakang sambil membawa sepiring kue apel kesukaanku.
“Kau menaruhnya di mana, Elberta?” gadis yang tidak tahu sopan santun itu mengobrak-abrik rak buku dan isi lemariku. Dasar gila. Tidak mungkin aku menaruh kepingCD di dalam lemari pakaian. Tetapi dia sahabatku – dia orang yang paling dekat denganku sejak aku pindah ke belahan selatan kota Rotterdam ini sekitar sebulan yang lalu, dan di kelas, dia juga sebangku denganku – sehingga aku membiarkannya bersenang-senangdengan pencariannya meski harus membuat kamarku berantakan, padahal aku baru saja membereskannya dua jam lalu.
Dengan santai aku berjalan menuju meja komputer yang terletak tepat menghadap ke luar jendela. Mengambil sekeping CD dengan cover Spoorloos. Tentu saja hal itu segera membuat Nicola bahagia hingga meloncat-loncat di atas ranjangku. Aku hanya melotot ke arahnya ketika kulihat sebuah bantalku terjatuh ke Teppich tebal berwarna coklat. Sudah kubilang ‘kan tadi, dia gadis yang tidak tahu aturan? Tetapi aku menyayanginya seperti saudara kandungku sendiri.
Pyaarr! Nicola terjingkat, begitupun aku. Kaca jendela kamarku pecah dan sebuah bola basket meluncur mengenai kepalaku. Sialan! Siapa lagi yang melakukan hal menyebalkan ini?
Aku segera melongok keluar jendela, melihat ke bawah. Cowok itu. Cowok yang tadi pagi bertemu denganku di halaman rumah. Dia memberiku isyarat untuk turun. Dadaku berdegup kencang, dipenuhi kemarahan atas tindakannya yang kurang ajar itu.
Bagaimana mungkin dia melempar kaca jendela kamarku hingga pecah, sementara kami kenal pun tidak? Bola basketnya bahkan mengenai kepalaku. Bukankah itu termasuk tindakan kriminal?
“Siapa dia?” Nicola berbisik di telingaku. Dia ikut-ikutan mengintip cowok itu dari belakangku.
Tanpa menjawab, aku segera turun dan bersiap menghujani cowok itu dengan segala macam umpatan.
“Apa yang kau lakukan?” aku mencoba mengatur nada suaraku agar tidak terdengar gemetar. Entah kenapa, berhadapan langsung dengan cowok ini membuatku selalu merinding. Mungkin karena tatapannya yang dingin dan wajahnya yang terlihat tidak ramah.
Cowok itu memberi isyarat agar aku menyerahkan bola basket yang kini berada di genggaman tanganku. Dengan kasar kulempar bola itu dan mengenai wajahnya.
“Apa maumu?? Apa salahku sehingga dengan santainya kau berani-beraninya melempar kaca jendelaku hingga pecah?!” kudorong tubuhnya yang tinggi dan kekar itu.
“Elberta!” Nicola menarikku, kemudian berbisik pelan.
“Cowok ini tampan sekali. Jangan marah-marah padanya, aku ingin berkenalan dulu dengannya.”
 "Persetan!" kembali kuhampiri cowok yang telah mengacaukan hariku di awal musim semi pagi ini.
Cowok itu menunjukkan bola basketnya padaku.
“Apa?!”
“Kau membuatnya kotor. Jangan kau pikir aku tak tahu, bola ini tadi masuk ke dalam pot bungamu yang tanahnya masih lembab. Kau lihat ini?”
Suaranya dingin dan dalam. Lebih menyerupai desisan yang halus dan menusuk.
Kuamati bola itu. Ada bercak tanah di sana. Ya Tuhan… Kumohon. Cowok ini berlebihan sekali! Ini sama sekali masalah yang sangat tidak penting untuk dibahas jika dibandingkan dengan pecahnya gelasku tadi pagi diikuti pecahnya kaca jendela kamarku! Keterlaluan!
“Kau! Apa maksudmu? Kau tak sadar, bolamu telah…”
“Telah menghantam gelasmu hingga pecah, dan barusan juga membuat kaca jendela kamarmu mengalami nasib yang sama? Hh.” Cowok itu tersenyum miring.
“Kau…”
“Urusan kita belum selesai.” Lanjutnya. Kemudian dia berlalu dari hadapanku, lagi-lagi tanpa mengucap maaf.
Urusan kita belum selesai.
Baiklah. Aku juga mempunyai pikiran yang sama. Lihat saja nanti.

***

            “Jadi kau mengenalnya?” Nicola berbisik di telingaku, takut suaranya yang memang selalu keras dan hampir tidak bisa dipelankan itu terdengar oleh Ms. Furori yang sedang menerangkan soal matematika di depan kelas.
“Iya. Eh, maksudku, tidak.” Suaraku tak kalah pelan.
“Iya atau tidak?”
“Aku dua kali bertemu dengannya, tetapi aku tidak tahu siapa namanya dan siapa dia. Kau mengenalnya?” Jujur saja, hari ini aku tidak bisa konsentrasi di kelas.
“Tidak.”
“Bukankah kau sudah lama di sini? Aku orang baru, harusnya kau lebih sering melihatnya.”
“Tidak, aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Mungkin dia juga orang baru.”
“Sok tahu.”
“Kau tidak menanyakan namanya dan di mana dia tinggal?”
“Pentingkah?”
“Tentu saja! Hampir tidak ada cowok yang setampan dia di sekolah ini.”
“Bisakah sebentar saja kau berhenti memikirkan laki-laki? Kau masih ingat berapa nilai ujianmu semester lalu, ‘kan?”
“Hei, kenapa kau mengaitkannya dengan masalah ini? Bukankah…”
“Nicola Scarlatti!” suara Ms. Furori terdengar seperti petir di siang yang cerah dan cukup berangin ini.
“Bukankah aku sudah bilang, jangan bicara di kelas sewaktu diajar oleh Ms Furori!” aku membentaknya pelan.
“Eh? Kapan kau bilang itu padaku?”
“Baru saja! Kau tak dengar?”
“Diam! Kau juga, Elberta Eustacia! Apa yang kalian bicarakan? Kita sedang belajar matematika, dan kalian malah dengan asyiknya membicarakan laki-laki, hah?”
 “Kau menguping pembicaraan kami?” Nicola bertanya dengan tampang innocentnya. Wajah guru matematika itu seketika merah padam.
“Kalian berdua, silakan keluar!”
“Dengan senang hati!” dengan cekatannya, Nicola menggandeng tanganku dan menarikku keluar kelas, diikuti geraman pelan guru wanita itu.

***

            “Bagaimana film nya, Nicola?” sepanjang jalan pulang dari sekolah, aku menendang-nendang bebatuan kerikil yang berserakan di tepi trotoar. Tidak biasanya trotoar sekotor ini. Tanah-tanah halus juga tampak berceceran di atasnya.
“Huh?”
Spoorloos. Kau sudah menontonnya, ‘kan?”
“Eh, hmm. Yeah, kau tahu? Semalam aku sibuk dengan tugas-tugasku di rumah. Kau tahu sendiri, orangtuaku sedang mengunjungi rumah Opa, jadi aku sendirilah yang harus mengurus diriku sendiri sampai mereka pulang.”
“Aku bosan mendengar alasanmu, Nicola. Klasik sekali.”
“Diam kau, Elberta!”
“Hahaha. Tidak usah malu mengakui bahwa kau penakut film-film thriller seperti itu, Nic.”
“Aku tidak takut, aku hanya…”
“Kau ingin tahu sesuatu?”
“Apa?”
“Aku sendiri sebenarnya juga belum pernah menontonnya.”
“Apa?? Apa maksudmu?!”
Well, aku sama sekali belum pernah menonton Spoorloos, asal kau tahu.” Aku memelankan suaraku sambil sesekali menoleh sekeliling.
“Hahaha. Kurang ajar kau, Elberta! Jadi selama ini percuma aku selalu mempercayaimu yang selalu bilang bahwa kau sudah berkali-kali menontonnya.”
“Rahasia kita berdua, Nic.”
“Tenang saja!” Nicola memelukku sambil tersenyum.
“Kau memang sahabat terbaikku.”
“Elberta, aku rasa kita lebih cocok menonton Barbie atau Tom and Jerry, apakah kau sepakat denganku?”
“Hahaha. Tidak.”
“Hah?”
ORPHAN.” Aku memelankan suaraku dan mencoba membuatnya terdengar seram.
“Kau gila! Itu film paling mengerikan yang pernah kulihat seumur hidupku!”
“Hahaha. Karena hanya film itu satu-satunya genre thriller – atau misteri? – yang pernah kau tonton, Sayang.”
“Aduh!” Nicola mengerang ketika seekor kucing berwarna putih menyusup di antara kedua kakinya. Gadis ini benci sekali pada kucing. Atau lebih tepatnya, takut. Entah kenapa aku bisa berteman dengan orang macam dia. Tapi ada untungnya juga. Aku membandingkannya dengan teman lamaku di kota asalku dulu. Namanya Cossette. Kami sama-sama penggila kucing. Setiap pergi berdua untuk membeli makanan kucing, kami selalu berebut. Entah kenapa, Cossette selalu mengikutiku. Kalau aku membeli makanan ini untuk kucingku, dia ikut-ikutan. Aku membeli itu, dia pun ikut-ikutan. Sampai pada suatu hari, kami pernah bertengkar hebat hanya karena kucingnya yang bernama Guby itu berkelahi dengan kucingku. Kucingku yang memang tubuhnya jauh lebih besar dan bulunya lebih lebat daripada Guby itu akhirnya berhasil mencakar tubuh Guby hingga terkoyak dan mengeluarkan banyak darah.
“Elberta! Kenapa kau diam saja?! Aduh!”  Nicola melompat-lompat kecil, menghindari gerakan kucing lucu itu. “Tolong aku, singkirkan kucing ini!”
“Nicola?” aku teringat sesuatu. “Aku melupakan sesuatu.”
“Ada apa?”
“Aku lupa memberi makan kucingku!”
“Hei, dasar kucing keparat! Pergi kau!” Nicola menendang kucing putih itu hingga tubuhnya terpental dan membentur trotoar. Kucing itu langsung diam tak bergerak.
“Ayo cepat pergi! Sebelum pemiliknya mengetahui perbuatanmu! Kau ini memang keterlaluan!”
Aku menarik tangan Nicola menjauh dari situ.
“Aku rasa dia mati!” kataku sambil menarik tangan Nicola semakin menjauh. Bukannya aku enggan menolongnya, tetapi pasti pemiliknya akan sangat marah jika mengetahui kucing itu mati. Dan aku tidak mau berurusan dengan polisi di tempat baru ini. Apalagi, kucingku, Episch, pasti sudah sangat kelaparan di rumah. Ayah dan ibuku belum pulang dari pelayaran mereka menuju rumah bibiku di Venezia. Semoga Episch masih bernyawa.
“Kau memang keterlaluan, Nic! Kalau sampai ada apa-apa, aku tidak mau berurusan dengan siapapun!”
“ Aku tidak peduli! Alibiku kuat. Aku alergi kucing. Und alles fertig.”
“Kau memang keterlaluan!”
“Kau suka sekali mengatakan itu? Sudah tiga kali dalam waktu kurang dari tiga menit kau mengatakan ‘kau memang keterlaluan!’, Elberta.”
“Bisakah kau tidak mengurusi hal-hal tidak penting semacam itu, Nicola Scarlatti? Lebih baik kau urus saja tindakan kriminalmu barusan. Ayo cepat!” aku menarik tangan Nicola dan menyeretnya dengan tergesa-gesa.
“Elberta? Kau mau membawaku ke mana? Aku rasa aku harus pulang. Lagipula setelah ini kau pasti sibuk dengan kucingmu.”
Aku menghela napas. “Oh, aku lupa. Tadinya kupikir kita serumah.”
“Tidak lucu.”
Aku pun berpisah dengan Nicola di gang lima. Kupercepat langkah agar segera sampai di rumah. Aku tak mau membiarkan kucingku kelaparan.
Sesampainya di rumah, aku terkejut hingga hampir terpeleset saat berbelok di depan pagar rumah. Sial. Kutendang kulit pisang yang membuatku nyaris tersungkur itu.
Kurang ajar. Perbuatan siapa lagi ini? Seenaknya membuang sampah di depan pagar rumah orang. Lagipula, dari mana dia mendapatkan buah pisang?!
Bukk! Ada yang menghantamku dari belakang.
Aku mengumpat dalam hati. Ketika aku menoleh, tidak ada siapa-siapa di sana. Padahal aku berharap orang yang melemparku itu masih berada di sekitar situ agar aku bisa kembali melemparnya dengan sesuatu yang dipakainya melempar kepalaku tadi.
Saat aku berjongkok untuk mengambil benda sialan itu, tiba-tiba, kali ini benar-benar tersungkur. Bahkan lebih parah jika dibandingkan dengan tersungkurnya aku karena kulit pisang tadi.
Aku mengenalinya. Bukan benda, melainkan seekor hewan berbulu crème lebat. Dengan gemetar kuraih kucing itu. Kedua bola matanya telah tiada, seperti telah dengan sengaja dicungkil seseorang. Perutnya terbelah. Darah kering mengotori bulu lembut dan lebat itu.
Episch tewas.

***

Aku duduk termenung di balkon kamar Nicola. Sementara itu, jasad Episch masih berada di dalam kardus bekas mie instant yang kini tergeletak di ujung kakiku.
“Elberta,” Nicola datang membawakan segelas jus apel dingin. “Minumlah dulu. Tenangkan pikiranmu.”
Maaf, Nic. Aku sedang sama sekali tidak ingin apapun kecuali Episch.
“Elberta?” Kali ini Nicola mengguncang bahuku. Menyerahkan selembar saputangan padaku. Kuseka airmata yang menggenang di pipiku. “Kalau kau mau, aku akan menemanimu membeli kucing baru sebagai pengganti…”
“Kau pikir semudah itu?!”
Nicola terdiam ketika aku membentaknya.
“Maaf, Elberta.”
Gila. Ini benar-benar gila! Siapapun dia, yang telah melakukan pembunuhan terhadap Episch, adalah orang yang sudah sinting. Bagaimana mungkin dia tega membunuh kucingku yang sangat menggemaskan itu? Kalau aku bertemu dengannya, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukannya pada Episch. Aku akan mencungkil kedua bola mata orang itu. Kemudian akan kubelah perutnya dengan pisau daging yang ada di meja dapur rumahku, dan kutarik keluar ususnya. Lalu kuiisi perutnya dengan bebatuan runcing yang berserakan di pekarangan rumahku. Setelah itu akan kupatahkan lehernya, kuputuskan dari badannya. Dan kepalanya yang sudah terlepas dari tubuhnya itu akan kumasukkan ke dalam perutnya, dan terakhir, kujahit perutnya dengan ususnya yang panjang dan menjijikkan. Setelah itu akan kubakar dia!
“Kenapa bukan kucing putih di pinggir jalan tadi saja mengalami nasib seburuk ini?” Nicola duduk di sebelahku dan menghela napas panjang.
Seketika aku teringat satu hal.
Nicola Scarlatti. Dia telah mencelakakan kucing putih itu, bahkan hingga tewas. Seketika aku mendapat satu titik terang dalam permasalahan ini.
“Ini semua gara-gara kau!” kucengkeram kerah baju Nicola. Gadis itu menjerit keras.
“Elberta! Apa-apaan kau?! Apa maksudmu?!”
“Kalau saja tadi kau tak menendang kucing putih itu hingga tewas, pasti sekarang Episch masih hidup!”
“El-Elbert… Elbertaaa…” kali ini kucekik lehernya.
“Semua ini gara-gara kau, Nic! Kau teman yang jahat!”
“Elberta!” gadis itu menarik tanganku dan mendorongku, sehingga aku jatuh terduduk ke belakang. “Kalau memang ini tentang kucing putih itu, pasti si pembunuh Episch sudah menghabisi nyawaku! Bukan kucingmu!”
“Itu karena kau tak punya kucing, dan si pembunuh tahu kau temanku. Karena itulah dia menjadikan Episch sebagai sasaran utamanya!”
“Kau menceracau banyak sekali, Elberta! Dengar, ini sama sekali tidak ada hubungannya denganku!”
“Bangsat kau, Nic! Tega sekali kau membuat hidupku menjadi sekacau ini!”
“Apa… Apa yang telah kulakukan?! Aku tidak…”
“Hahhh!! Persetan! Mulai sekarang kita tidak akan berteman lagi!”
Dan aku pergi meninggalkan rumah Nicola dengan berurai airmata.
Aku berjalan semakin menjauh dan bersumpah takkan pernah lagi menginjakkan kakiku di rumahnya.
“El-Elbert… Elbert-a… Elbertaaaa, tolong a-akuu… Aaaaaaaaaarrghh!” aku mendengar erangan Nicola dari jauh.
Aku benar-benar tidak peduli dan tidak percaya lagi padanya. Teriakan pilu itu pasti hanya akal-akalannya agar aku kembali padanya.
Aku melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Kubuka pintu pagar rumahku. Sial. Aku melupakan sesuatu.
Kuurungkan niatku untuk masuk ke dalam rumah. Aku kembali keluar dan mengunci lagi pintu pagar, bersiap pergi ke rumah Nicola untuk mengambil Episch yang tertinggal di balkon kamarnya.
Aku sengaja memasuki rumahnya tanpa mengetuk pintu atau menekan bel terlebih dahulu. Nicola sudah tidak pantas mendapat perlakuan sesopan itu lagi.
Aku naik ke kamarnya di lantai atas.
Sreeettt! Astaga. Aku terpeleset lagi. Aku jadi waspada. Tadi sepulang sekolah aku juga terpeleset, dan ternyata itu suatu pertanda buruk. Episch meninggal.
Kali ini aku terpeleset. Semoga ini bukan pertanda apapun.
Saat bangkit, spontan aku menjerit keras. Cairan berwarna merah segar tampak mengalir di lantai keramik yang putih itu. Aku tak mungkin salah lihat.
Ini benar-benar… Darah.
Masih segar dan anyir.
“Nic?” suaraku gemetar. Kali ini aku benar-benar khawatir.
“Nicola?” ulangku. Aku hampir mendekati kamarnya.
“Nicola, kau di mana?” aku terus masuk dan masih terus waspada. “Nic? Ini aku… Elberta. Kumohon, keluarlah!”
Brak! Kubuka pintu kamarnya. Di pojok ruangan, kulihat sosok itu sedang berdiri menghadap jendela sambil memainkan sesuatu di tangannya. Tidak biasanya dia mengenakan tudung di kepalanya seperti itu.
“Oh, Nic. Aku lega sekali. Tapi darah apa tadi? Sangat mengerikan, kau tahu?” kupeluk sahabatku itu dari belakang.
Tidak. Bukan.
Nicola tak setinggi ini.
Tingginya sama denganku.
Tidak. Dia bukan…
“Kau!” segera kulepas pelukanku ketika tahu siapa sosok yang kini menatapku tajam itu. Senyumnya yang miring sangat menyerupai iblis. Memuakkan!
“Kau?! Apa yang kaulakukan di sini?? Dan  di mana kau sembunyikan… Nicola?!” suaraku memelan saat mengucapkan nama sahabatku. Kulihat tangan cowok itu sedang memainkan dua pasang… mata! Melempar-lemparnya ke atas dan menangkapnya dengan tangan lainnya. Mata itu masih berdarah!
Cowok pembawa sial itu menatapku dengan mata hitam legamnya yang mengerikan. Sudut matanya mengarah ke arah kamar mandi di pojok kiri ruangan ini. Aku bergegas pergi untuk mengecek.
“Nicola?” panggilku. “Oh, tidaaaak!!!”
Nicola sangat mengerikan. Kepalanya hancur. Kaki kirinya patah dan melengkung ke posisi yang tidak seharusnya.
“Bangsat! Ternyata kau pelakunya! Berarti kau juga yang telah membunuh Episch?!!! Aku akan melaporkanmu pada polisi!”
Cowok itu melangkah ke luar dan tak menghiraukan aku. Ditinggalkannya senyumnya yang mirip setan itu. Dia pergi tanpa kata-kata.
Aku meraung di samping jasad Nicola. Menangis deras. Aku menyesal kenapa tadi tidak kembali sewaktu mendengar jeritan pilu Nicola.

***

Kriiing.
Telepon di ruang tengah berdering. Dengan malas, kuturuni anak tangga yang sangat panjang itu. Aku baru saja pulang dari kantor polisi dan melaporkan semuanya. Pasti yang telepon itu adalah pihak kepolisian yang mengabarkan bahwa cowok pembunuh itu sudah tertangkap.
“Hallo?”
“Elberta, kau sedang berbicara dengan ibumu.”
Aku menghela napas panjang. “Ada apa, Ibu? Ini sudah malam dan aku sangat mengantuk. Hoaaahm.” Aku pura-pura menguap.
“Ibu hanya ingin mengabarkan, ibu tidak bisa pulang minggu ini. Bibimu mengalami kecelakaan tadi sore, dan harus di rawat di rumah sakit. Kau tahu? Dia sangat mengerikan! Satu matanya terlepas. Dia…” selanjutnya aku tak mampu mendengar apapun lagi. Kalimat ibuku membuatku teringat jelas dengan kematian Episch dan Nicola yang sangat aku sayangi.
Klik. Aku mematikan telepon dan bergegas naik ke kamarku di lantai atas. Tak kupedulikan deringan telepon yang tak henti berbunyi sepanjang malam. Aku menutup telingaku dengan bantal. Aku tak tahu sampai kapan telepon itu akan berhenti berdering.
Aku tak bisa tidur. Ini sudah lebih dari satu jam saat aku naik ke ranjang dan menutup telingaku dengan bantal. Saat kuangkat bantal dari kepalaku, telepon itu masih berdering.Kumohon, Ibu… Aku sedang tidak ingin mendegarkan penjelasan apapun tentang kecelakaan bibi.
Aku sudah terlalu shock dengan yang kualami hari ini.
Kriiing. Kriiiing.
Sial! Dengan enggan, akhirnya aku terpaksa turun untuk menjawab telepon memuakkan itu.
“Hallo, ibu, kumohon berhentilah menelepon. Berisik sekali, kau tahu? Dan aku tidak menyukai…”
“Miss Eustacia?” suara berat di seberang sana menyela ucapanku.
“Maaf?”
“Kami dari pihak kepolisian ingin mengabarkan sesuatu. Dari tadi kami menelepon Anda, tetapi tidak kunjung ada jawaban.”
“Oh, maaf. Kukira tadi orang lain yang menelepon.”
“Anda harus lebih respek dan waspada lain kali, Miss Eustacia.”
“Aku sangat menyesal. Well, apakah sudah ada kabar mengenai laki-laki yang kulaporkan tadi?”
“Menurut data yang tertera, laki-laki dengan ciri-ciri yang Anda sebutkan tadi bernama Antonio Eldorra. Dia seorang psikopat yang sudah menelan banyak korban dengan mencungkil mata korban, sama persis seperti penjelasan Anda tadi. Dan sekarang, menurut salah satu rekan kami yang berhasil membuntutinya, Antonio Eldorra sedang dalam perjalanan menuju Postdamer Street.”
Seketika telepon itu terlepas dari genggamanku.
Postdamer Street.
Rumah yang kutempati saat ini berada di jalan itu. Di Postdamer Street.
Dok dok dok!
Pintu rumah diketuk dengan sangat keras. Padahal ada bel yang nyaring dan indah bunyinya, kenapa orang itu memilih mengetuk pintu dengan kasar?
Dok dok dok!
Jantungku berdegup semakin kencang.
Dok dok dok!
“Dan sekarang, menurut salah satu rekan kami yang berhasil membuntutinya, Antonio Eldorra sedang dalam perjalanan menuju Postdamer Street.”
Kalimat polisi itu terngiang-ngiang di telingaku.
Dok dok dok!
Aku berjalan mengendap-endap menuju pojok kanan ruang tamu, mengambil vas bunga dari keramik yang berukuran cukup besar.
Dok dok dok!
Berhenti menggedor pintu seperti itu, bodoh!
Aku memutar anak kunci dan bersiap dengan vas bunga di tanganku. Pintu itu akhirnya terkuak dengan cepat, dan aku dengan sigap menghantam kepala itu dengan vas yang kupegang.
Sial! Bodoh!
Orang itu menjerit kesakitan dan bangkit lagi dengan tertatih.
“Maaf, Mister! A-aku sangat ketakutan, kukira tadi… Oh, maaf sekali lagi. Keningmu berdarah. Aku…”
“Tidak apa-apa, Miss Eustacia.” Polisi itu meringis sambil memegangi kepalanya yang pasti sangat sakit. Vas bungaku pecah dan berserakan di lantai. “Aku hanya ingin mengingatkan supaya jangan lupa mengunci semua pintu dan jendela rumah Anda. Mungkin tersangka itu sedang dalam perjalanan ke sini, Miss Eustacia. Anda harus lebih waspada. Untuk sementara aku akan berjaga di sekitar rumah Anda. Sementara itu, beberapa rekan polisi yang lain akan memburu Antonio Eld… eld…”
Tubuh polisi yang tinggi dan kekar itu roboh, digantikan dengan sosok yang tak pernah kuharapkan akan mampir lagi dalam hidupku.
“Aaaaaahh!” aku menjerit keras mengetahui polisi itu pingsan dan kini, Antonio Eldorra tengah berdiri di depanku dengan jarak kurang dari satu meter, sambil membawa sebuah tongkat kayu yang cukup besar.
Aku bergegas masuk dan menutup pintu, namun gerakan cowok psikopat itu sungguh sangat cepat. Dia menahan tanganku dan mamaksa masuk. Aku mendorong pintu dengan sekuat tenaga, membuat tubunya yang tinggi dan kekar itu terpelanting ke halaman. Dengan cepat segera kukunci pintu dan kututup semua tirai.
Aku berlari menuju meja telepon untuk menelepon kantor polisi.
Pett!
Sial! Lampu tiba-tiba mati. Dan sambungan telepon terputus. Dalam gelap, aku berusaha menaiki tangga dan bermaksud bersembunyi di dalam kamar.
Praang!
Aku yakin betul bahwa itu suara kaca pecah.
Aku sudah berada di dalam kamar. Meja dan dua kursi aku letakkan di belakang pintu setelah menguncinya. Kututup tirai jendelaku setelah memastikan bahwa jendela itu sudah terkunci rapat dan tak mungkin bagi Antonio untuk masuk melaluinya.
Tuhan, tolonglah aku!
“Elberta Eustacia!” suaranya dalam dan menusuk.
“Kau tahu namaku?!” teriakku spontan. Ups! Aku segera membodoh-bodohkan diriku sendiri sambil membungkam mulutku dengan kedua telapak tanganku. Seharusnya kau diam saja, Elberta! Dasar tolol!
“Elberta, buka pintunya, atau aku akan mendobraknya!”
Dobrak saja! Aku sudah mengunci pintu dan meletakkan sebuah meja dan dua kursi di belakangnya. Dia takkan bisa mendobraknya. Dipikirnya dia sekuat apa? Aku tahu itu hanya gertakannya saja.
Brakkkk!
Aku masih meringkuk di dalam lemari pakaianku, kali ini gemetar hebat. Kuintip dari celah lubang kunci, Antonio berhasil mendobrak pintu kamarku.
“Elberta, keluarlah! Aku tahu di mana kau bersembunyi!”
Pisau buah dalam genggamannya mengkilap di tengah kegelapan. Aku semakin gemetar dan memegangi lututku sendiri. Peluh bercucuran dan nafasku memburu.
“Elberta!” Brakk! Tubuh Antonio menabrak bola plasma mainanku di atas meja komputer. Bola plasma itu terjatuh dan aku sangat yakin, pecah berantakan di lantai keramik.
Kini aku mulai bisa merasakan lemari ini bergetar, mengikuti getaran tubuhku yang tidak menentu. Aku mengintip dari celah lubang kunci, kali ini Antonio benar-benar menatap ke arahku.
Ditendangnya lemari tempatku bersembunyi. Spontan aku menjerit sekeras-kerasnya. Dia bahkan mendobrak pintu lemariku.
“Tidaaak! Jangan! Kumohon jangan bunuh aku, Antonio…”
Aku menangis meraung, Antonio justru tersenyum licik menatapku. Dijambaknya rambutku dan diseretnya aku keluar dari kamar.

***

Aku akan mencungkil kedua bola mata orang itu. Kemudian akan kubelah perutnya dengan pisau daging yang ada di meja dapur rumahku, dan kutarik keluar ususnya. Lalu kuiisi perutnya dengan bebatuan runcing yang berserakan di pekarangan rumahku. Setelah itu akan kupatahkan lehernya, kuputuskan dari badannya. Dan kepalanya yang sudah terlepas dari tubuhnya itu akan kumasukkan ke dalam perutnya, dan terakhir, kujahit perutnya dengan ususnya yang panjang dan menjijikkan. Setelah itu akan kubakar dia!
Aku masih ingat betul janjiku terhadap siapapun yang telah membunuh Episch waktu itu. Dan kini, aku menatap sosok yang terbaring berdarah-darah di lantai keramik ruang tamu sebuah rumah di Postdamer Street.
Gadis itu perutnya terjahit dan berdarah-darah, kepalanya telah tiada. Perutnya menggembung, penuh berisi bebatuan runcing dan sebuah kepala. Jahitan di perutnya, aku yakin sekali, itu adalah ususnya, panjang dan menjijikkan!
Kemudian kulihat Antonio Eldorra menyulut sebatang korek api setelah menyiramkan minyak gas di sekujur tubuh itu.
Kurasakan butiran airmataku menetes, mungkin. Bahkan aku sendiri tak bisa merasakan tubuhku.
Gadis itu adalah aku. Lebih tepatnya, ragaku. Tubuhku.
Dengan penuh senyum kemenangan dan senyum miring khasnya yang menyerupai iblis itu, Antonio Eldorra meninggalkan jasadku begitu saja setelah yakin seluruh bagian tubuhku telah tersulut api, terbakar.
“Elberta?” aku mengenali suara itu. Berbalik, aku menatap sosok yang berjalan terseok-seok dengan posisi kakinya yang sangat mengerikan.
“Nicola…”
Mata Nicola yang sendu menatapku, seakan menyesali kematianku. Seharusnya dia lebih menyesali kematiannya.
“Maafkan aku, Nic… Seharusnya waktu itu aku tidak…”
“Sudahlah, Elberta. Semua sudah terjadi. Dan aku senang kita bisa bertemu lagi.”
Kami saling tersenyum dan saling mendekat untuk berpelukan. Tetapi aku lupa bahwa kami takkan bisa saling menyentuh.
“Elberta, aku punya ide bagus.”
“Apa yang kaupikirkan, Nic?”
“Sekarang saatnya menghabisi nyawa Antonio Eldorra.”


***


On the other side of the world…
            Seorang gadis sedang tampak sibuk di depan layar komputernya. Sesekali dia menyambar secangkir teh Peppermintz di atas meja di dekatnya.
“Vara, bagaimana menurutmu?” Hava menghela nafas lega sambil membenarkan posisi duduknya.
“Kau sudah selesai?” gadis yang dipanggil Vara bangkit dengan malas-malasan dari ranjang empuk kamar flat nya.
“Ya. Bagaimana menurutmu kalau ending nya seperti ini?”
“Sebentar, biar kubaca dulu.”
Kening Vara beberapa kali berkerut saat membaca tulisan Hava, sahabatnya. “Hmm. Jadi Elberta Eustacia meninggal? Mengerikan juga. Hanya sampai di sini? Kau tidak ingin menceritakan proses terbunuhnya Antonio Eldorra oleh mereka berdua?”
“Yap! Aku sengaja mengakhirinya seperti itu saja. Bagaimana?”
“Baiklah, terserah kau saja.”
“Payah, kau benar-benar tidak membantu.” Hava menyalakan printer dan bersiap mengeprint karyanya yang akan segera dikirimnya ke penerbit.
“Hehehe, aku lebih suka kau suruh mencicipi kue cherry buatanmu daripada kau suruh membaca novelmu.”
Dok dok dok!
Suara pintu flat mereka diketuk seseorang.
“Siapa?” suara Hava terdengar kurang bersahabat. Dia benci sekali ada orang yang menggedor pintu sekeras itu, apalagi dia merasa tidak punya janji apapun hari ini.
“Siapa di luar?” Vara mengulangi, tetap tak ada sahutan. Hanya suara pintu yang digedor semakin keras.
“Berisik sekali, biar kubuka!” Hava bangkit dari kursinya dan bergegas ke arah pintu.
Seorang laki-laki bermata hitam legam di depan pintu berdiri dengan tegap dan menatap Hava tajam. Senyumnya miring dan auranya terlihat jelas, tak bersahabat.
“Benarkah Anda yang bernama Hava Eustacia? Perkenalkan, aku Antonio Eldorra!”

===============================

THE END
by. Nuzulul Laily

Bagaimana cerpen cinta ini? keren yaa...

Blog Pemikir Cerdas sebagai media untuk berbagi informasi dan tutorial simple untuk dunia IT.

4 comments:

  1. blognya keren gan

    salam dari blogger amatiran

    ReplyDelete
  2. cerpen yg bagus, teruskan bro
    mohon kunjungan balik & komentar baliknya ya, sekalian mempererat silaturahmi antar blogger
    salam blogger 
    http://saiko-ink.com/category/blog

    ReplyDelete
  3. Kereenn...
    Sampe2 ska than nafas bacanya.. Hehehe

    ReplyDelete

Masukan sahabat sangat berarti untuk perbaikan kedepannya.
EmoticonEmoticon