Tutur Tinular 4- Lembah Berkabut Season 2
- Sahabat Pemikir Cerdas kali ini sambungan dari Tutur Tinular 4 - Lembah Berkabut season 1 sahabat. Tapi sebelumnya sahabat pada sudah baca kan season 1 nya sahabat. Jika sahabat lansung bacanya season 2 ya kurang asyik ntar sahabat ceritanya karena sahabat g baca dari awal ceritanya sahabat. Bagi sahabat yang belum bacaTutur Tinular 4- Lembah Berkabut Season 1 silakan baca dulu sahabat agar makin seru ntar bacanya sahabat.Pada malam yang lain, ketika Arya Kamandanu kembali belajar olah kanuragan pada Mpu Ranubhaya, ia menyampaikan apa yang dialaminya pada gurunya.
Mpu Ranubhaya mendengarkan dengan saksama dan pura-pura belum mengerti, bahkan ia menyimpan rapi perihal Hanggareksa yang datang padanya dengan pikiran buruk.
"Wah! Kalau begitu Angger Kamandanu sudah maju dengan pesat, sampai ayahanda sendiri tidak mampu menangkap." Wirot yang ikut mendengarkan penuturan Kamandanu berkomentar kagum. Arya Kamandanu menghela napas, memandang gurunya dan beralih pada Wirot yang mengangguk-angguk.
"Kalau tidak hati-hati saya bisa tertangkap, Paman Wirot. Karena Ayah juga mempunyai ilmu meringankan tubuh.”
“Memang, Aji Seipi Angin bukanlah sembarang ilmu, walaupun tidak jarang pendekar tingkat tinggi yang memilikinya. Jika seorang pendekar sudah menguasai Seipi Angin dengan sempurna, bulat tanpa cacat celanya, maka dia pun langsung menguasai aji Seipi Banyu dan Seipi Geni," jelas Mpu Ranubhaya.
"Seipi Banyu dan Seipi Geni?" tanya Wirot dan Kamandanu berbareng.
"Ya. Dengan Seipi Banyu seorang pendekar bisa berjalan di atas air, sedang Seipi Geni membuat si pendekar tidak mempan termakan kobaran api.”
“Wah, luar biasa pendekar yang sudah menguasai ketiga macam ilmu itu," tukas Arya Kamandanu.
"Menurut sepengetahuanku hanya ada tiga orang manusia yang mempunyai ketiga ilmu itu sekaligus.
Pertama adalah Mpu Sasi, guruku sendiri. Kedua adalah Prabu Seminingrat atau Ranggawuni, dan ketiga adalah Mpu Lunggah.”
“Siapa Mpu Lunggah itu, Paman?" tanya Arya Kamandanu sambil membetulkan posisi duduknya.
"Kakak seperguruanku. Tapi sampai sekarang aku tidak pernah tahu tempat tinggalnya. Dia juga seorang pembuat senjata pusaka. Dia murid paling disayangi oleh guruku, Mpu Sasi. Dalam membuat senjata pusaka dia di bawahku, tapi dalam hal kanuragan dia jauh di atasku.”
“Paman Ranubhaya! Ayah sering kali mengatakan bahwa Paman Ranubhaya adalah sahabatnya paling dekat, apakah Paman juga saudara seperguruan dengan Ayah?”
“Apakah ayahmu tidak pernah menceritakannya?”
“Tidak, Paman. Ayah tidak pernah menceritakannya," jawab Arya Kamandanu sambil memperhatikan Mpu Ranubhaya yang mengerutkan dahinya. Lelaki tua berpakaian compang-camping itu menghela napas dan berkata lirih, "Memang tidak perlu hal itu diceritakan. Tak ada manfaatnya. Lebih baik kau sekarang menekuni ilmu yang kuajarkan berikut ini." Selesai berkata demikian, Mpu Ranubhaya langsung bangkit. Ia melompat ke atas sebuah batu padas di sebelah selatan lempengan batu yang selama ini berfungsi sebagai tempat bersemadi.
Wirot dan Arya Kamandanu pun mengikuti langkah gurunya. Mereka berdiri dengan sikap kuda-kuda. Kedua tangan mereka mengepal, dada mereka mengembang saat menghirup napas. Perut kencang membesar ketika menyimpan udara lalu mengembuskannya perlahan-lahan.
Pandangan dan perhatian keduanya tercurah pada gurunya yang bersidekap dengan kedua kaki seolah-olah terpancang di atas padas.
Beberapa gerakan lembut dipertontonkan pada kedua muridnya. Lelaki tua itu bergerak lincah sekali tanpa memperdengarkan suara. Benar-benar luar biasa. Setelah cukup ia pun melepas kedua tangannya ke depan seperti cakar naga dan kembali pada posisi semula. Kedua muridnya mengikutinya dengan saksama.
Mpu Ranubhaya lalu mengadakan persiapan untuk memberikan pelajaran jurus Naga Puspa tahap kedua pada Arya Kamandanu sedangkan Wirot masih diharuskan belajar menguasai dasar-dasar aji Seipi Angin. Arya Kamandanu duduk bersila mendengarkan dengan khidmat.
Lelaki tua itu pun duduk di atas batu padas sambil memandang kedua muridnya. Beberapa saat suasana di dalam gua itu sepi sekali. Hening, hanya napas-napas malam dengan selimut pekatnya berbisik pada ketiga insan yang ingin mendapatkan jatining ngaurip. Kehidupan sejati yang tidak dinodai oleh hawa nafsu dan keinginankeinginan duniawi.
"Tahap kedua jurus Naga Puspa ini terdiri dari sebelas jurus." Mpu Ranubhaya memulai ajarannya. Suaranya serak dan berat.
"Tiap-tiap jurus mempunyai titik serangan yang berbeda.
Jadi, seluruhnya ada sebelas titik serangan yang dijadikan sasaran. Dahi, pelipis kiri-kanan, mata kiri-kanan, tenggorokan atau pangkal leher, dada, ulu hati, pusar, alat kelamin dan terakhir tengkuk. Titik serangan yang paling berbahaya adalah dahi, pangkal leher, ulu hati, alat kemaluan dan tengkuk. Sebelas jurus itu merupakan serangan berantai, dan harus dilakukan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Jika gagal mencapai salah satu titik serangan, maka serangan berikutnya bisa memilih titik serangan yang lain. Dalam hal mempertahankan diri pun kau dapat menggunakan sebelas jurus itu untuk menangkis serangan lawan, sambil ganti menyerang dengan memilih titik sasaran yang paling mudah dicapai. Nah, sekarang berdirilah! Aku akan memberimu contoh.”
“Baik, Paman." Arya Kamandanu bangkit mengikuti perintah gurunya.
"Buatlah kuda-kuda yang bagus untuk membuka serangan. Kau bisa menggunakan dua belas jurus tahap pertama untuk memukul aku. Siap?”
“Saya siap, Paman," jawab Arya Kamandanu mantap.
"Sekarang pukullah aku semaumu. Yahh, mulai!" Kemudian Arya Kamandanu menerjang dan menjotos Mpu Ranubhaya dengan sasaran ulu hati. Tapi buru-buru Mpu Ranubhaya menghentikan tindakan pemuda itu.
Lelaki itu tersenyumsambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kamandanu! Jangan sungkan-sungkan memukulku! Ayo, mulai lagi.”
“Ya, Paman. Tapi... tapi...”
“Tapi apa? Kau pikir karena aku sudah tua bangka begini, maka kau merasa mampu menandingi kelincahanku? Ayo pukullah aku! Lebih cepat lebih baik.”
“Baik, Paman. Tapi sebelumnya saya minta maaf." Kembali Arya Kamandanu menyerang Mpu Ranubhaya, kali ini ia lebih sungguh-sungguh. Kedua tangannya berganti-ganti menjotos, mencakar dan mencecar. Kakinya menyepak tinggi-tinggi, lalu dengan gerakan memutar ia berusaha menyarangkan pukulan-pukulannya. Pemuda itu heran sekali karena dengan gerakan-gerakan yang cukup gesit dan lincah gurunya menghindar, melompat, merunduk, bahkan tanpa disadarinya beberapa kali pukulannya bersarang pada tubuhnya. Mpu Ranubhaya melompat mundur untuk memberikan isyarat berhenti.
Arya Kamandanu merunduk memberi hormat dengan kedua tangan menyilang di depan dadanya sebelum akhirnya berdiri tegak dengan kuda-kuda. Keringatnya berleleran hingga tubuhnya yang padat tampak berkilat-kilat ditimpa cahaya pelita di dinding gua.
Mpu Ranubhaya tersenyum sambil mengatur napasnya yang terengah karena usianya.
"Bagus? Sekarang periksalah tubuhmu. Ada beberapa titik serangan yang telah kutandai dengan baik oleh jari-jari tanganku ini.”
“Hhh! Dada saya terasa pegal, Paman," Arya Kamandanu meraba dadanya dengan telapak tangan kirinya.
"Satu. Dadamu sudah terkena serangan.”
“Ehh, perutku terasa agak mual, Paman," dengan tangan kanannya Arya Kamandanu meraba perutnya.
"Itu berarti pusarmu sudah terkena. Dua!”
“Ahh, ahh..." Arya Kamandanu tiba-tiba jongkok dengan meringis menahan sakit. Gurunya tertawa panjang melihatnya.
"Mengapa kau tiba-tiba jongkok di depanku? Apanya yang terasa sakit, Kamandanu?”
“Ahh, maaf Paman. Anu... eh anu...”
“Naahh, tiga. Alat kelaminmu pun menjadi korban jarijari tanganku yang nakal ini.Masih ada lagi?”
“Ehh, sepertinya... sepertinya saya agak susah untuk bernapas dan berbicara, Paman. Ehh, ini ada yang menyekat di pangkal leher.”
“Empat. Pangkal lehermu pun ternyata tidak bisa lolos dari gebrakan sebelas jurus ini tadi. Baiklah! Kau istirahat dulu sejenak, supaya sakitmu berkurang dan nanti kita teruskan lagi.”
“Baik, Paman." Begitulah setiap malam, di dalam gua itu Arya Kamandanu dan Wirot mendapat gemblengan dari Mpu Ranubhaya secara bergiliran. Bila Arya Kamandanu lelah, Wirot harus menghadapi gurunya untuk meningkatkan kemampuannya berolah kanuragan Setiap selesai latihan, dapat dilihat betapa Arya Kamandanu menunjukkan kemajuan yang luar biasa dibandingkan dengan Wirot. Arya Kamandanu selalu mengulangi apa yang baru diajarkan gurunya sehingga jurus demi jurus tampak melekat di benaknya dan dalam waktu singkat ia lebih menguasai jurus Naga Puspa bagian dua.
Pada malam itu, ketika Arya Kamandanu kembali menghadap gurunya di gua batu payung ia benar-benar telah siap berlatih. Namun, Wirot belum tampak hingga Mpu Ranubhaya menanyakan hal itu pada Arya kamandanu, "Di mana pamanmu Wirot?”
“Sepertinya sudah tidur di bawah sana, Paman.”
“Baiklah. Mari kita teruskan. Sekarang tiba giliranmu, Kamandanu. Berdirilah!”
“Baik, Paman.”
“Pergunakanlah Seipi Anginmu untuk menangkis serangan-seranganku ini.”
“Baik, Paman. Saya siap." Arya kamandanu segera melompat dan menyiapkan ajian Seipi Angin. Ia bersidekap sambil memejamkan matanya. Ia pusatkan segala hati dan pikirannya. Pusarnya mulai terasa dingin sekali, kemudian rasa dingin itu merayap ke seluruh jaringan nadi darahnya.
Setelah itu, tubuhnya terasa ringan sekali. Pada saat ia benar-benar siap maka ia pun melakukan langkah-langkah zik-zak mundur. Sebaliknya, Mpu Ranubhaya sudah menyiapkan serangan-serangan gencar. Menjotos, mencakar, menotok dan menendang Arya Kamandanu sambil memberi aba-aba.
"Baguuss? Awaaass, mata kirimu! Pusar! Baguuss! Dada! Tenggorokan. Alat kelamin! Dada! Pusar! Pelipis kiri! Dahi! Pelipis kanan! Yahh! Makin cepat! Huupph. Bagus! Terus! Bagus! Awas mata kanan! Tenggorokan, alat kelamin! Terus makin cepat lagi! Makin cepat lagi!" Arya Kamandanu melompat-lompat seperti bajing, tupai pohon yang pandai menyusuri ranting-ranting. Kadang-kadang menunjukkan gerakan-gerakan yang luar biasa lincahnya. Ia berusaha keras menghindari, menangkis dan membalas serangan gencar gurunya.
Mpu Ranubhaya sangat puas melihat kemajuan Arya Kamandanu. Dalam ruangan gua yang tidak seberapa luasnya itu Mpu Ranubhaya terus melatih Arya Kamandanu sebelas jurus tahap kedua. Dengan tekun dan ulet Arya Kamandanu mengikuti latihan, setelah tujuh hari lamanya berlatih ia memiliki kemampuan di atas rata-rata sebagai calon pendekar. Arya Kamandanu benar-benar berbakat dalam olah kanuragan setelah mendapat latihan berat. Keuletannya sudah tak mampu dihadapi oleh Wirot yang lebih dahulu mempelajari ilmu Naga Puspa, bahkan Mpu Ranubhaya kini kelihatan belepotan dan repot menghadapi muridnya.
"Yah, berhenti! Berhenti dulu!" lelaki tua itu melompat mundur sambil mengangkat kedua tangannya. Napasnya terengah-engah, keringatnya membasahi tubuhnya yang kini menunjukkan garis-garis usianya. Arya Kamandanu masih tenang saat gurunya menatapnya lekat-lekat dengan dada kembang kempis.
"Mengapa berhenti, Paman?”
“Hoohh, jangan sombong! Kau masih muda, tentu saja tenagamu masih besar, cadangan napasmu masih panjang.
Sekarang kau bersiap lagi, Kamandanu. Kita akan lanjutkan latihan ini sambil menguji kecepatan dan ketepatan gerakanmu. Kau pasti masih ingat benda ini, bukan?" dengan cepat Mpu Ranubhaya mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya. Ditimang-timangnya benda itu.
Arya Kamandanu mengerutkan dahinya sambil memelototkan matanya karena bayangan masa lalunya menyeruak di dalam angannya.
"Ohh... itu batu nirmala. Paman telah mencuri batu itu dari tangan saya beberapa waktu yang lalu.”
“Dulu aku pernah berkata, bahwa tak seorang pun memperoleh hasil memuaskan tanpa lebih dulu bermandikan keringat. Kau masih ingat?”
“Ingat, Paman.”
“Nah, sekarang peraslah keringatmu, Kamandanu! Kuraslah peluh yang ada di tubuhmu untuk dapat merebut batu nirmala ini dari tanganku.”
“Baik, Paman." Arya Kamandanu tidak segera menyerang, sebaliknya ia seolah-olah melihat wajah Nari Ratih dalam batu nirmala di tangan gurunya. Hal itu membuatnya kurang memusatkan seluruh gerakannya.
Sehingga saat ia mulai bergerak dan berusaha merebut batu itu buru-buru gurunya melompat menjauh dan membentak keras "Tunggu! Kalau kau merebut batu nirmala ini dengan gerakan seperti itu, sampai tengah hari besok dia akan tetap di tanganku.”
“Ehh, maksud Paman?”
“Lebih gesit! Lebih sigap dan lebih bersemangat! Ayo mulai lagi!”
“Baik, Paman." Tidak ragu-ragu lagi, seperti tercambuk ingatan dan batinnya Arya Kamandanu melesat bagaikan seekor burung srikatan mengejar serangga. Menukik, menyerang dengan gebrakan gencar sekali berusaha merebut batu nirmala di tangan gurunya. Hatinya benarbenar teguh dan tak akan menyia-nyiakan waktu yang ada.
Sesekali kedua tangannya terbuka, mencabik, mencakar, menyahut cekatan sekali. Sementara gurunya berusaha menghindari serangannya dengan gerakan-gerakan mundur tak kalah gesit. Lelaki tua itu masih memiliki kelebihan yang luar biasa. Tangguh dan ulet sekali.
Arya Kamandanu berusaha menyerang lebih gencar dengan menggunakan aji Seipi Anginnya. Sementara Mpu Ranubhaya dengan pengalamannya berusaha mempertahankan benda tersebut. Suasana dalam gua menjadi sangat gaduh, tapi apa yang terlihat tidak begitu jelas. Hanya sosok-sosok manusia yang bergerak dengan cepat sekali, seperti dua setan yang berebut makanan.
Arya Kamandanu menyerang dengan gencar untuk merebut batu nirmala dari tangan Mpu Ranubhaya. Sudah beberapa kali dia hampir saja menyambar benda itu, tapi Mpu Ranubhaya dengan lincah selalu dapat menepiskannya. Arya Kamandanu tidak tahu mengapa gurunya begitu lincah dan gesit. Bahkan terasa sulit mengimbanginya. Keringatnya kini bercucuran, tubuhnya telah bersimbah peluh, napasnya mulai terengah-engah. Di situlah ia mampu melihat keuletan dan ketangguhan gurunya di balik hidupnya yang rendah hati dan lembut.
Jiwa yang penuh kasih lelaki tua itu semakin cemerlang dengan kesahajaannya. Bahkan dengan kelebihan dan kesaktiannya itulah benturan-benturan peperangan dalam batin muridnya kembali mencuat di benak. Akhirnya Arya kamandanu harus mengakui kelebihan dan keunggulan gurunya.
"Hehehee... bagaimana, Kamandanu? Mengapa berhenti?”
“Rasanya masih sulit untuk mengungguli gerakan paman Ranubhaya.”
“Hehehe... tentu saja. Bagaimana kau bisa merebut batu nirmala ini kalau gerakanmu seperti babi hutan? Cepat tapi tidak terkendali. Seringkah kau mati langkah akibat kecepatanmu sendiri. Sekarang mulailah lagi! Cepat, tapi tetap tenang dan yakin bahwa kau akan berhasil.
Bagaimana?”
“Baik, Paman." Dengan napas yang lebih teratur Arya Kamandanu melirik gurunya yang berdiri di atas batu padas. Ia ingin mendekati gurunya tetapi ketika ia melompat ke sana gurunya sudah melesat jauh di ujung gua sambil tersenyum menggoda.
Kembali ia menyerang Mpu Ranubhaya dengan berusaha tetap mengendalikan gerakannya yang cepat bagaikan kitiran. Ia merasa aneh karena kekuatannya seperti bertambah dan seperti memiliki tenaga cadangan sehingga tenaganya menjadi berlipat ganda. Lompatanlompatannya menjadi ringan sekali. Tangan dan kakinya menjadi hidup seperti punya mata.
Mpu Ranubhaya tampak kewalahan. Suatu ketika orang tua itu agak lengah, dan pada saat itu bagaikan seekor burung elang menyambar mangsanya, tangan kiri Arya Kamandanu menjulur ke depan bagaikan mematuk, dan ...,"kenaaaa! Aku berhasil, Paman!" teriak Arya Kamandanu setelah berhasil menyambar batu nirmala dari tangan gurunya.
Arya Kamandanu girang sekali. Matanya sampai berkaca-kaca, "Saya berhasil, Paman. Saya berhasil! Lihat, batu nirmala ini sudah berada di tanganku.”
“Yah, kau memang berhasil, Kamandanu. Kau sudah berhasil menyerap sebelas jurus tahap kedua ilmu Naga Puspa ini." Mpu Ranubhaya terengah-engah dan terbatuk.
Arya Kamandanu melompat mendekatinya, "Eh, ada apa, Paman?”
“Tidak apa-apa. Hanya agak lelah. Mari kita istirahat barang sejenak, Kamandanu." Keduanya lalu melompat ke atas batu pipih dan beristirahat di sana sambil mengelap keringat yang membasahi sekujur tubuh mereka. Wirot mengangguk hormat dan menyongsong mereka dengan hati bergembira.
"Aku merasa puas karena kau sudah mampu menyerap apa yang kuajarkan, Kamandanu. Sebelas jurus tahap kedua ilmu pukulan Naga Puspa ini sebenarnya membutuhkan waktu paling sedikit seratus hari untuk menguasainya.”
“Tapi Angger Kamandanu, kalau tidak salah hanya membutuhkan 35 hari, Guru. Berarti Angger kamandanu benar-benar berbakat besar dalam ilmu kanuragan," tukas Wirot.
"Ah, Paman Wirot jangan terlalu memuji. Aku takut nanti menjadi sombong." Arya Kamandanu masih sibuk mengelap keringatnya.
Mpu Ranubhaya memperhatikan pemuda itu, dan memandangnya penuh saksama tampak senang melihat sikap rendah hati pemuda itu.
"Kesombongan akan membawa kemunduran. Bukan kemajuan. Kau harus hati-hati sekali agar jangan sampai jatuh ke dalam kesombongan, ketamakan, keangkuhan, karena semua itu merupakan penyakit berbahaya bagi para pendekar di segala jaman.”
“Saya akan selalu ingat pesan Paman Ranubhaya.”
“Apa yang sudah berhasil kau kuasai ini belum seberapa banyak, Kamandanu. Jumlahnya sudah cukup, tapi takaran yang kau miliki perlu terus-menerus ditambah dengan latihan-latihan keras. Pukulan dua belas jurus tahap pertama perlu kau matangkan lagi untuk memperkuat tubuhmu. Kemampuan meringankan tubuh dengan aji Seipi Angin juga perlu kaulatih lagi dengan sungguh-sungguh.
Yang terakhir, pukulan sebelas jurus tahap kedua tidak boleh kau telantarkan begitu saja. Tekunlah berlatih, setiap hari. Jangan sampai ada waktu yang terbuang percuma.
Kalau kau menuruti kata-kataku ini, aku yakin dalam satu dua surya lagi kau akan menjadi pendekar yang diperhitungkan di Singasari. Sebab memang demikianlah hukumnya suatu ilmu. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Ilmu tanpa latihan betapa pun tingginya ilmu itu, akhirnya akan sia-sia." Nasihat Mpu Ranubhaya tidak berlalu begitu saja di hati Arya Kamandanu. Diam-diam putra Hanggareksa itu merindukan kehidupan lain yang harus diciptakannya sendiri.
Setiap malam Arya Kamandanu makin giat berlatih di gua batu payung bersama wirot. Di samping itu, dia juga dengan tekun berlatih sendiri di tempat lain, tempat yang sepi, atau kadangkala di halaman rumahnya sendiri. Tapi semua itu dia lakukan dengan diam-diam.
@@@
BERSAMBUNG
Tutur tinular itu cerita yg berlatar belakang apa sih??? ak kurang ngerti ceritanya
ReplyDelete