TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut (3)
Sahabat ini sambungan Tutur Tinular 4 - Lembah Berkabut Season 2 sahabat.serukan ceritanya sahabat. Ok sahabat selamat melanjutkan ya sahabat.
Pada suatu hari, Arya kamandanu pergi ke tepi padang ilalang, tempat yang sangat istimewa di hatinya. Ia berjalan kaki tanpa kuda kesayangannya. Di tengah jalan ada seorang pemuda menghadang langkahnya. Ketika Arya Kamandanu mendongak siapa pemuda itu, ia tersenyum dingin.
Dangdi putra Kepala Desa Manguntur duduk di punggung kudanya dengan pongah dan sombong sekali, "Aha, Kamandanu! Apa sekarang kau sudah menjadi seorang gembel pengelana? Mana kudamu?”
“Kebetulan aku sedang menyukai perjalanan dengan kaki, Dangdi.Minggirlah, aku mau lewat!”
“Ah, kasihan sekali kau kawan. Nari Ratih sudah terlepas dari tangan, sekarang rupanya kau pun tidak dipercaya lagi menunggang kuda oleh ayahmu.”
“Dangdi, jangan membuat keributan lagi denganku!”
“Kau kira aku sudah cukup puas setelah membuatmu babak belur dulu, Kamandanu? Tidak! Sampai kapan pun Dangdi tetap bermusuhan dengan Arya Kamandanu!”
“Rupanya kau seorang yang senang adanya keributan.
Tapi sayang sekali, aku tidak sudi melayanimu.Minggirlah, aku mau lewat!”
“Lewat saja kalau kau mau lewat!" Arya Kamandanu baru saja akan melangkah di jalan yang sempit itu, ketika mendadak kuda Dangdi memutar tubuhnya. "Dangdi, kau jangan membuat gara-gara denganku! Aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di rumah!”
“Pekerjaan apa? Huuuh! Paling-paling mengintip kakakmu yang sedang bermesraan dengan isterinya, Nari Ratih.”
“Dangdi, kau tidak akan bisa memancingku untuk membuat keributan lagi. Kalau kau tidak mau meminggirkan kudamu, baiklah aku mengambil jalan lain saja." Arya Kamandanu mundur dan menghindari Dangdi Ia berjalan cepat meninggalkan anak Kepala Desa Manguntur itu yang berteriak-teriak memakinya.
Dangdi heran karena Arya Kamandanu tidak mau melayaninya. Ia anggap Arya Kamandanu sebagai pengecut, penakut seperti tikus. Ia beranggapan bahwa Putra Hanggareksa itu masih belum sembuh benar dari luka-lukanya ketika ia gebuki bertiga dengan Jaruju dan Balawi. Ia tersenyum dingin, ada kesempatan bagus untuk melampiaskan dendam pada Arya Kamandanu. Ia lalu menghela kudanya ke arah perginya Arya Kamandanu.
Ringkik kuda memecah kesunyian tepi padang ilalang.
Dangdi mencari-cari Arya Kamandanu dengan terus memutar-mutarkan kudanya, hingga kuda itu terus meringkik-ringkik karena perlakuan tuannya sangat kasar.
"Hm, ke mana orang itu?" Dangdi kebingungan karena Arya Kamandanu menghilang dengan tiba-tiba, raib dari pandangan matanya.
Di samping kiri jalan setapak yang dilaluinya adalah jurang Kurawan yang sangat dalam dan berbahaya, menganga lebar bagaikan mulut naga yang siap menelan siapa saja.
"Aneh sekali, di mana Kamandanu?" Dangdi terus menengok ke sana kemari mencari Arya Kamandanu. Lehernya dipanjangkan melongok ke segala arah. Dia sama sekali tidak menduga, bahwa orang yang dicarinya berada di bawahnya.
Ya. Dengan menggunakan aji Seipi Angin, Arya Kamandanu melekatkan tubuhnya di sebuah tumbuhtumbuhan yang menjalar di tepi tebing yang curam sekali.
Dangdi mulai cemas, hatinya mulai dihantui ketakutan.
Ah, mana mungkin dia tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi? Jangan-jangan orang itu tadi hantu." Menyadari tempat yang dilaluinya adalah daerah angker, Dangdi memutar kudanya lalu menghelanya dengan kencang, "Hiya, hiyaaaaa!" Dia beranggapan telah bertemu dengan hantu yang menyerupai Arya Kamandanu.
Arya Kamandanu tersenyum geli melihat Dangdi buruburu mengaburkan kudanya meninggalkan tempatnya. Ia bersyukur karena berhasil mengendalikan diri dengan tidak melayani tantangan anak Kepala Desa Manguntur. Satu langkah ia dapat menaati perintah gurunya, tidak sembarangan mempertontonkan jurus Naga Puspa kepada sembarangan orang.
Dangdi yang berkuda dengan kencang segera menemui dua kawannya.Mereka dia ajak kembali ke tempat di mana ia bertemu dengan Arya Kamandanu.
"Masak aku berdusta pada kalian? Aku jelas bertemu dengan Kamandanu di sini. Dia sempat bersitegang denganku.”
“Aku tidak percaya ada hantu berkeliaran di siang hari bolong," tukas Jaruju.
"Ya. Mungkin kau kurang teliti mencarinya, Dangdi!" sambung Balawi.
"Aku terus mengejarnya ke arah sana. Dan mendadak dia lenyap begitu saja, padahal tak ada jalan lain. Hanya ada jurang di depan yang menganga lebar." Jaruju berpikir keras, "Sekarang kita cari saja dia ke tepi padang ilalang.”
“Ya. Mungkin dia sekarang ada di sana," sambung Balawi.
Baru saja berdebat, Dangdi melihat bayangan Arya Kamandanu di kejauhan. Dengan kedua tangannya ia memberi isyarat pada dua kawannya.Mereka menyaksikan Arya Kamandanu berjalan dengan santai ke arah mereka.
"Kebetulan sekali, kita tidak usah jauh-jauh mencari ke tepi padang ilalang," Jaruju sudah tidak sabar.
"Kita sikat saja beramai-ramai di tempat ini," usul Balawi.
Arya Kamandanu tidak mau ribut, ia mengambil jalan pintas memotong ke arah kiri sebelum berpapasan dengan komplotan Dangdi.
"He, dia memotong jalan ke arah kiri. Ayo kita kejar! Cepat, Jaruju, Balawi, kejar dia!" Dangdi, Jaruju dan Balawi terus memacu kuda menguber Arya Kamandanu. Kuda mereka berlari bagaikan terbang melintasi semak belukar.
"Heya, heyaaaaa. Itu dia, terus kejaaar!" seru Dangdi pada kedua kawannya.
Mereka benar-benar seperti melihat babi hutan, dikejar dan diburu. Bahkan mereka mulai meraba senjata masingmasing.
Dangdi menyiapkan anak panah pada busurnya.
Namun, ia kehilangan jejak Arya Kamandanu.
"Dia lenyap lagi!" serunya.
Jaruju melihat bayangan Arya Kamandanu berkelebat di balik pohon besar. Maka Balawi memeriksa tempat itu, ia tersenyum dan menunjuk dengan tangannya bahwa Arya Kamandanu bertengger di atas sebuah pohon.
"Wah, rupanya musuh besarmu keturunan monyet juga.
Dia bisa naik pohon trembesi sampai ke pucuknya!" celetuk Jaruju sambil menghunus pisau lemparnya.
"Haiiiiiii! Kamandanu! Ayo turunlah! Jangan membuat tontonan yang memuakkan ini! Turunlah kalau kau memang jantan." Dangdi jadi pusing, bingung dan tidak tahu harus bagaimana, karena Arya Kamandanu di pucuk trembesi seperti tidak mendengarkan seruannya. Bahkan seperti tidak peduli dengan apa yang mereka lontarkan.
Ketiga pemuda itu makin marah dan memaki-maki Arya Kamandanu. Balawi mulai tidak sabar, ia segera meraba busur dan memasang anak panah yang tergantung di pelana kuda.
"He monyet buduk! Kalau kau tidak mau turun juga, aku akan memaksamu dengan anak panahku ini!" Balawi tidak sekadar mengancam. Ia sudah ancang-ancang untuk melepaskan anak panah.
"Bidik saja kakinya, agar dia jatuh seperti buah kelapa." Dangdi tidak sabar melihat Balawi ragu-ragu tidak jadi melepaskan anak panah "Tapi bagaimana kalau sampai dia kelenger atau mati?" tanya Balawi.
"Biar saja. Itu bukan salah kita!" Balawi lalu membidik dengan saksama, ia meminta Jaruju tidak menghalangi langkahnya ketika mencari posisi yang tepat membidikkan anak panah. Ia membidik mata kaki Arya Kamandanu. Ingin membuat tontonan menarik di antara kedua kawannya. Anak panah Balawi segera meluncur dari busurnya tepat mengenai sasaran ke tubuh Arya Kamandanu.
Dangdi dan Jaruju tentu gelisah karena Arya Kamandanu sedikit pun tidak bereaksi. "Balawi, dia diam saja!" bisik Dangdi.
"Barangkali panahmu meleset!" sambung Jaruju yang ikut penasaran sekali.
"Ah, tidak mungkin. Anak panahku tidak pernah meleset. Kau tahu sendiri burung terbang pun bisa kubidik dan terjatuh tanpa nyawa lagi.”
“Coba kau bidik lagi, Balawi!" seru Dangdi.
"Baik. Kalian lihat dengan cermat, mana bisa bidikanku meleset?" kembali Balawi memasang anak panah dan membidik sasaran di atas pohon trembesi setinggi seratus depa dari atas mereka.
"Mampus kamu!" seru Balawi sambil melepaskan anak panah dari tali busurnya. Tiga kali anak panah meluncur ke tubuh Arya Kamandanu, namun sasaran itu tidak terlihat oleh mereka bereaksi apa pun. Tetap diam bagaikan kalong mati.
"Ah, bagaimana bidikanmu, Balawi? Mengapa tidak seperti biasanya?" Jaruju kesal karena ketiga anak panah Balawi tidak mempengaruhi sasaran. Balawi sendiri kesal dan gusar.
"Kurang ajar, aku jadi penasaran." Dangdi makin geram "Bidik saja tubuhnya, biar mampus sekalian!" Balawi makin marah dan geram, kembali ia memasang anak panah pada tali busurnya. Tiga kali kembali ia hajar Arya Kamandanu dengan anak panah tertajam.
"Sudahlah! Sudah. Tak ada gunanya membuang-buang anak panah percuma. Sekarang kita tunggu saja," rutuk Dangdi makin kesal.
"Maksudmu?" tanya Jaruju belum paham benar dengan gerutuan Dangdi.
"Kita tunggu di bawah pohon ini saja. Dia pasti akan lelah juga. Dan kalau sudah lelah, mau ke mana lagi dia kalau tidak turun? Nah, pada saat itulah baru kita hantam dia sepuas-puasnya." Dangdi dan kedua kawannya menunggu di bawah pohon dengan kesal. Sementara orang yang di atas pohon, yang tak lain adalah Arya Kamandanu masih juga belum bergeser dari tempatnya. Enam buah anak panah Balawi yang berhasil ditangkap terselip di ketiaknya. Maka setelah matahari sudah condong ke arah barat Dangdi makin kesal.
"Aaah, jangan-jangan orang yang di atas itu hantu!”
“Tidak mungkin, Dangdi. Hantu takut berkeliaran di bawah sinar matahari," tukas Jaruju.
"Jangan-jangan bukan orang tapi orang-orangan," sambung Balawi.
"Dari tadi dia sama sekali tidak bergerak." Dangdi menghunus pedangnya, "Aaakh, mengapa kita menjadi orang-orang yang bodoh. Ambil pedang kalian! Kita tebang saja pohon ini!" Mereka setuju dan membenarkan pendapat Dangdi untuk menebang pohon itu agar bisa membuktikan siapa di atas pohon itu; benar-benar orang atau orang-orangan.
Mereka berharap jika pohon itu ditebang bisa menimpa Arya Kamandanu dan tewas tertimpa batangnya. Maka mereka segera mulai membacoki pohon trembesi sebesar rangkulan orang dewasa itu bersama-sama. Dengan semangat, marah dan gusar ketiganya terus menebas pohon secara bergantian.
Matahari makin condong ke barat, sinarnya mulai lemah menembus sela-sela rerimbunan pohon. Senja mulai meremang ketika pohon itu tampak bergerak-gerak, dan sebentar kemudian pohon itu pun berkeretak roboh! Arya Kamandanu dengan gesit melompat ke belukar tanpa sepengetahuan ketiga pemuda yang memburunya.
Dangdi, Jaruju dan Balawi memeriksa pucuk pohon di mana mereka menyaksikan orang bertengger di sana.
Namun mereka tidak menemukan apa-apa dan siapa pun.
"Mana dia? Mana Kamandanu?" Dangdi celingukan, melongok ke setiap sudut tindihan pohon. Ia tidak melihat Arya Kamandanu di rerobohan pohon yang mereka tebang.
Jaruju pun bengong, "Aneh sekali? Mestinya dia gepeng tertimpa batang pohon besar ini.”
“Oh, lihat! Ini anak panahku ada di sini." Balawi gemetar mencabut enam anak panah yang tertancap di batang pohon tempat di mana Arya Kamandanu bertengger. Ia memandang kedua temannya dengan cemas.
"Nah, mungkin sekarang kalian baru percaya apa yang kukatakan. Jelas orang itu bukan Kamandanu.Mungkin dia benar-benar hantu yang mau menakut-nakuti kita" Dangdi makin cemas, dan ia mendekati Balawi yang menghitung anak panahnya.
"Memang aneh. Panahku tidak ada yang hilang. Masih lengkap enam buah. Tapi semua menancap di batang pohon, yang jaraknya seperti diatur saja." Balawi membenarkan pendapat Dangdi, bahwa mereka sedang berhadapan dengan makhluk halus yang suka menggoda manusia. Ia beranggapan tidak ada gunanya berlama-lama di tempat itu.
"Ayo, kita pergi saja!" seru Dangdi yang mulai bersimbah keringat dingin.
Mereka buru-buru melompat ke kuda masing-masing, tidak lama kemudian mereka bertiga sudah meninggalkan tempat itu.
Arya Kamandanu tersenyum, geleng-geleng kepala dan keluar dari belukar, melompat dengan ajian Seipi Angin meninggalkan tempat angker menuju rumahnya.
Sampai di rumah suasana sudah benar-benar gelap. Arya Kamandanu segera mandi dan ganti pakaian. Ketika baru saja keluar ia tersenyum karena Bibi Rongkot hampir menabraknya seraya melepas susur dan memukul sayang bahunya.
"Oh, Angger Kamandanu?”
“Ya, Bi, ada apa?”
“Angger kelihatan kurus sekarang. Angger kurang tidur, ya?”
“Aku memang kurang istirahat, Bi. Lihat saja, siang hari aku harus melayani Ayah membuat rencana tentang usaha beliau. Hanya waktu-waktu tertentu saja Ayah tidak menyertakan aku dalam bekerja. Mungkin karena terlalu lelah, malamnya aku tak bisa tidur nyenyak.”
“Apakah bukan karena sesuatu yang lain, Ngger?”
“Maksudmu, Bi?”
“Yah, Bibi bisa memahami perasaanmu, Ngger. Sejak pesta pernikahan Angger Dwipangga dulu, Angger Kamandanu kelihatan murung. Kelihatan gelisah.”
“Ah, tidak, Bi. Nari Ratih sudah kurelakan menjadi istri Kakang Dwipangga, bahkan sekarang aku sudah menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri. Dan kulihat mereka kelihatan sangat bahagia.”
“Ya, begitulah suasana pengantin baru. Angger Dwipangga kelihatan sangat menyayangi Nini Ratih. Tapi semalam mereka tampaknya bertengkar, Ngger." Bi Rongkot agak berbisik.
"Bertengkar?" Arya Kamandanu mengerutkan dahi dan merasa tidak perlu mengorek keterangan dari Bibi Rongkot.
"Tampaknya sedang ada persoalan di antara mereka.”
“Ah, biar saja, Bi. Itu urusan pribadi mereka. Aku tidak mau ikut campur." Arya Kamandanu menghela napas dan mengelus pundak perempuan tua itu, "Apakah Ayah ada di ruang kerjanya, Bi?”
“Ada, Ngger. Sejak sore tadi ayahanda belum keluar lagi dari ruang kerja beliau.”
“Aku harus menemui Ayah." Arya Kamandanu lalu meninggalkan perempuan tua itu menuju ruang kerja ayahnya yang ada di rumah bagian belakang. Sudah beberapa malam terakhir ia sering dipanggil ayahnya, namun ia kian cemas setiap malam bertambah larut, karena ia sebetulnya kurang tertarik pada kegiatan ayahnya Ia lebih mencintai belajar dari Mpu Ranubhaya untuk meningkatkan olah kanuragan.
Dengan perlahan Arya Kamandanu mendorong pintu ruang kerja ayahnya. Mpu Hanggareksa menoleh ketika melihat pintu ruang kerjanya terbuka. Arya Kamandanu melihat wajah ayahnya dari balik keremangan sinar lampu minyak jarak yang tergantung di tengah ruangan.
"Duduklah, Kamandanu!”
“Ya, Ayah." Arya Kamandanu duduk di sisi kiri ayahnya, agak jauh. Ia tidak ingin mengganggu ayahnya yang masih memegang patremdan beberapa lembaran daun tal basah.
"Mengapa kau tidak mau berterus-terang?" tanya Mpu Hanggareksa sambil meletakkan patrem di atas daun tal.
"Kalau kau tidak mau berterus-terang padaku, berarti kau tidak lagi menganggapku sebagai orang tuamu " Arya Kamandanu celingukan dan agak bingung, "saya belum jelas duduk perkaranya, Ayah.”
“Dwipangga tahu bahwa kau menyimpan batu nirmala pemberian istrinya. Dwipangga, entah cemburu atau apa, dia marah-marah. Kemarin mereka bertengkar. Dwipangga mau mengambil batu nirmala itu, tapi Nari Ratih menolak.
Sampai sekarang mereka masih dalam suasana yang tidak enak.”
“Kalau Kakang Dwipangga keberatan, saya akan mengembalikan batu nirmala itu pada Nari Ratih.”
“Jadi, benar, kau menyimpan batu nirmala itu?”
“Benar, Ayah.”
“Mana benda itu? Aku mau lihat. Kalau memang benda itu nantinya membuat keributan di rumah ini, lebih baik aku yang menyimpannya.”
“Ayah boleh melihat batu birmala itu." Arya Kamandanu mengeluarkan batu nirmala dari balik bajunya.
Ia keluarkan dari kantong kulit kecil yang sengaja dibuatnya untuk menyimpan benda itu. "Inilah! Tapi saya keberatan Ayah menyimpan benda ini.”
“Sebabnya?" Arya Kamandanu memperhatikan Mpu Hanggareksa yang menimang-nimang dan memperhatikan dengan saksama batu nirmala. Permata yang putih bersih, bening nyaris seperti kaca.
"Saya sudah berjanji pada Nari Ratih akan menyimpan batu nirmala ini. Kecuali dia sendiri yang menghendaki agar saya mengembalikannya.”
“Kamandanu! Ada hubungan apa kau sebenarnya dengan istri kakakmu itu?”
“Sekarang saya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Nari Ratih, kecuali bahwa ia sudah menjadi kakak ipar saya.”
“Tapi dulu kau pernah ada hubungan dengannya?”
“Saya tak mau mengungkit-ungkit yang dulu-dulu, Ayah.
Maaf, kalau Ayah memaksa saya membicarakan masalah ini, saya keberatan sekali." Mpu Hanggareksa mendesah panjang. Merasakan sesuatu yang perih di dada putra bungsunya, "Yah. Aku tahu. Aku tahu sekarang. Hmhh! Baiklah." Lelaki tua itu menyerahkan batu nirmala kembali pada Arya Kamandanu yang segera menyimpannya di dalam kantong kulit dan dimasukkan di balik bajunya.
"Kamandanu!”
“Ya, Ayah.”
“Kau harus bisa melupakan Nari Ratih. Sekarang ia sudah resmi menjadi isteri kakakmu. Kau tidak boleh mengganggu ketenangan dan kebahagiaan mereka.”
“Saya tidak pernah mengganggu mereka, ayah. Bahkan saya akan ikut merasa bahagia kalau Nari Ratih bahagia menjadi istri Kakang Dwipangga.”
“Kamandanu! Sekarang kaulah anakku satu-satunya yang bisa kuharapkan. Kau harus bisa mewarisi apa yang kumiliki sebagai seorang pembuat senjata pusaka. Aku tak ingin apa yang sudah kucapai ini akhirnya hancur dan direbut orang lain. Kuharap kau tidak membuat ayahmu ini kecewa, Kamandanu." Arya Kamandanu mengangguk lemah. Kepalanya seperti tertimpa bandul besi. Makin berat menanggung beban kehidupan yang tidak pernah dimengerti siapa pun termasuk ayahnya yang selalu memaksakan kehendak dan keinginannya.
@@@
BERSAMBUNG