Sahabat Pemikir cerdas beberapa hari yang lalu admin mendapatkan kiriman cerpen dari sahabat kita yang ber inisial SB. Cerpen ini cukup sedih sahabat, dan di balik kesedihan itu banyak nilai positif yang dapat sahabat ambil. Judul cerpen MIss SB kali ini Cabe-cabean yang mana sebelumnya judul Kado Teristimewa banyak diminati pembaca.
Cabe-Cabean
CABE-CABEAN
“cabe-cabean!” begitu mereka memanggilku.
Istilah itu sudah melekat pada diriku, istilah itu tak asing
lagi di telingaku. Bodohnya aku tak mampu berkutik sama sekali begitu mendengar
sebutan itu ditujukan ke arahku. Aku sadar bahwa aku jauh berbeda dari mereka.
Aku hanyalah anak seorang buruh pabrik miskin yang mendapat beasiswa prestasi
di sekolah elite ini. Sekolah tempatnya anak-anak orang kaya, aku tak
seharusnya berada disini.
Semua berawal dari kejadian malam itu.
Tok tok tok....
“sri.....cepat buka pintu!!!” terdengar suara ayah dari luar
begitu lantangnya.
Aku melihat jam di atas meja belajar sudah menunjukkan pukul 12.45 wib. Aku tak
heran lagi melihat ayah baru pulang jam segini. Dia memiliki kebiasaan buruk
setiap malam, berjudi. Aku tidak malu dengan pekerjaan beliau, walaupun hanya
seorang buruh. Mungkin jika ayah tidak menghabiskan uangnya di meja judi,
kehidupan kami bisa lebih sejahtera daripada saat ini. Bahkan tidak jarang ayah
berhutang untuk memuaskan hobinya ini.
“lama sekali kau buka pintu!!” teriak ayah sekali lagi.
Aku segera mendekat ke dinding kamar yang hanya terbuat dari
triplek tipis. Bahkan ada sedikit bagian yang berlobang sehingga aku bisa
mengintip dari sana apa yang terjadi di ruang tamu. Kamar ku berada tepat di
sebelah ruang tamu.
Ssreeettt...
Terdengar pintu terbuka dan aku melihat ayah dipapah oleh
seorang wanita. Pakaiannya begitu minim, dress berwarna merah menyala.
Bawahannya berada sedikit di bawah pinggang, lebih panjang bagian paha yang
terlihat daripada yang ditutupi. Aku mengutuk wanita itu, ‘siapa dia?’ gumamku
dalam hati.
“siapa dia ini mas?” pertanyaan ini dilontarkan oleh ibu
sambil menunjuk-nunjuk ke arah wanita muda dengan dandanan bak cleopatra itu.
Aku yakin ibu lebih marah dibandingkan aku yang juga jengkel pada wanita
tersebut.
“awas sana, aku sudah ngantuk ini!” ayah berjalan
sempoyongan sambil mendorong ibu yang hampir saja terjatuh dibuatnya. Setelah
melepas tangan ayah, wanita itu pergi tanpa berkata sepatah kata pun. Hanya
tersenyum dengan nada sinis dan begitu angkuhnya memandang ke arah ibu kemudian
berlalu begitu saja.
Kejadian malam ini membuatku sangat terkejut, tidak biasanya
ayah pulang dalam keadaan seperti ini. Kebiasaannya dalam berjudi sudah
dimaklumi oleh ibu dan aku, meskipun tidak menerima tapi kami tak bisa berbuat
apa-apa untuk menghentikan ayah. Tapi kenapa malam ayah pulang dengan seorang
wanita dalam keadaan mabuk? Pertanyaan itu tak kan ku dapatkan jawabannya malam
ini.
Keesokan paginya di sekolah...
Tanda tanya besar itu menjadi buah pikiran olehku. Aku pun
lupa bahwa hari ini ada ulangan matematika. Percuma rasanya aku belajar tadi
malam, semua yang kupelajari hilang tiba-tiba. Aku tidak mampu berkonsenterasi
lagi selama ujian berlangsung. Hanya ada pertanyaan itu yang terus saja
mondar-mandir dalam pikiran ku.
Teeett teeettt...
Bel keluar main pun berbunyi. Untuk pertama kalinya, aku
mengumpulkan lembar jawaban kosong pada ulangan ku kali ini. Dengan langkah
gontai aku berjalan keluar kelas menyusuri lorong sekolah. Aku tidak peduli
lagi rasanya dengan prestasi yang kucapai selama ini. Aku bosan dengan
kehidupanku seperti ini. Sekolah di tempat yang bagus, tetapi tidak seorang pun
yang ingin berteman denganku. Sesekali mereka mendatangiku ketika perlu, ketika
tidak ada lagi siswa yang mampu mengerjakan tugas mereka. Seusai bertanya,
mereka pergi dan meninggalkanku sendiri. Yah..hanya sebatas itulah aku di mata
mereka, siswa beasiswa yang bersekolah dari sumbangan orang tua mereka.
“woiiii... ngelamun aja loe!”
Aku kaget ketika seseorang mengejutkanku dari belakang. Aku
menoleh ke arahnya dan menatapnya dalam-dalam. Sudah 2 tahun lebih aku
bersekolah disini, tapi baru hari ini aku melihat wajahnya. Dia sangat asing
bagiku.
“loe kenapa?” tanyanya dengan sangat antusias sambil
merangkul bahuku.
“oya, kenalin nama gue Eci. Loe pastinya gak kenal sama gue,
tapi gue tau loe.” Sambarnya lagi dan tersenyum ke arah ku.
Gayanya sangat nyentrik. Dia berbeda dengan teman-teman
lainnya yang ada di sekolah ini. Baru kali ini seseorang menyapaku dengan tulus
seperti yang dia lakukan.
“kamu kok bisa kenal sama aku?” tanya ku dengan malu-malu.
“siapa sih yang gak kenal sama si kutu buku, siswa paling
pintar di sekolahan ni, peraih juara umum. “ sambil menepuk-nepuk pundakku.
Kehadirannya membuatku sedikit terhibur.
“senang berkenalan sama kamu e.. mm eci” balasku sambil
tersenyum.
“eittsss...loe kaku banget sih, woles aja kali ra!” bahkan
eci tau nama ku. Dara, ya itu nama pemberian ibuku.
“wooiii daraaa.. loe kenapa sih, bengong aja dari tadi?
Kalau loe punya masalah, cerita aja sama gue, jangan disimpan sendiri.” Eci kembali mengagetkanku. Aku merasa benar
apa yang dikatakan eci. Serta merta aku mempercayainya dan menceritakan
kejadian yang terjadi tadi malam. Entah mengapa, tak ada sedikit pun keraguanku
pada eci.
“sedih juga gue dengar cerita loe ra, tapi loe yang sabar
aja ya. Kali aja tu cewek cuma ngantar bokap loe sampai di rumah. Apalagi bokap
loe baru kali ini pulang dalam keadaan mabuk, pastinya dia perlu orang biar bisa
selamat sampai di rumah.” Kata eci begitu selesai mendengar ceritaku. Aku
merasa sedikit lega mendengarnya dan siap untuk menyantap pelajaran kembali
seusai keluar main.
Teeett..teeeetttt.......
***
Beberapa minggu berlalu..
Persahabatan kami pun semakin erat. Setiap waktu keluar
main, aku tak sendiri lagi. Kini ada eci yang mau berteman denganku.
Suatu hari, eci mengajakku untuk menginap di rumahnya.
“ntar malam ke rumah gue ya ra, kita belajar buat persiapan
ulangan besok.” Celoteh eci sepulang dari sekolah tadi siang.
Sekarang aku sudah berada di rumah eci. Rumah petak yang
ditinggali oleh eci dengan kakek dan neneknya. Sedangkan orang tua eci berada
di bandung, ayahnya bekerja di perkebunan yang luas dan sangat dipercaya oleh
pemilik kebun. Karena senangnya pemilik kebun dengan kerja keras ayah eci
selama ini, dia yang membiayai sekolah eci hingga bersekolah di SMA Tunas
Bangsa. SMA terbaik yang memiliki fasilitas terlengkap di seantero Jakarta,
katanya sih gitu.. Hihihihi
Malam semakin larut, aku pun mengajak eci untuk tidur.
“loe tidur aja duluan ra, gue mau pergi nih. Anak-anak
tanding malam ini.” Jawab eci sambil merias wajahnya.
“emangnya udah malam begini mau pergi kemana ci?” tanya ku
dengan keheranan.
“gue jelasin juga loe gak bakal ngerti ra, gimana kalau loe
ikut gue aja.” Eci mneyadari kebingunganku. “ayok lah ra ikut sama gue ya, gue
jamin pasti seru deh.” Bujuk eci berusaha meyakinkanku.
Karena penasaran, aku pun tergoda oleh ajakan eci. Meskipun
nggak tau bakal dibawa kemana, tapi aku percaya aja sama eci.
Eci terlihat sangat cantik malam ini. Tanpa berdandan pun,
eci emang udah cantik juga. Tapi malam ini benar-benar pul dandanannya. Tapi
aku nggak suka dengan pakaian yang dikenakan eci. Lengan bajunya memang
panjang, tapi roknya sangat pendek setengah paha pun nggak nyampe. Ini
membuatku semakin penasaran untuk pergi ke tempat yang dituju eci.
Sesampainya..
Brum...brumm..brumm
Suasananya sangat bising. Tempat ini gelap, hanya disinari
cahaya bintang. Tapi begitu banyak muda-mudi yang berseliweran di jalanan ini.
“nah ini tempatnya ra, pasti loe belum pernah kesini waktu
malam. Di sini tempat berkumpulnya motor-motor keren dengan pemiliknya yang
kece-kece juga.” Terang eci begitu sampai di tempat tujuan. Tanpa memberiku
kesempatan bersuara, dia nyambar lagi “tuh teman-teman tongkrongan gue ra, kita
kesana yuk.”
Kebanyakan dari mereka laki-laki, mengenakan jaket hitam dan
sarung tangan berjari buntung. “woii sob, kenalin nih, teman gue namanya dara.”
Eci berteriak mengenalkan namaku.
“perkenalkan, aku dara.” aku pun bersuara.
“di sini berisik ra, loe harus teriak dikit, mereka nggak
bisa denger loe ngomong apa.” bisik eci di telingaku. Aku sedikit ragu, karena
merasa sedikit minder berada di tengah-tengah mereka. Ada beberapa orang perempuan
lainnya disana, dan mereka berdandan seperti eci. “ayok ra, kenalin diri loe.”
Eci kembali meyakinkanku.
Aku pun memberanikan diri dan berteriak dengan lantang “kenalin
teman-teman, aku dara!”
“salam kenal dara!” salah seorang dari mereka membalas
salamku.
Eci pun menghampiri mereka dan melayangkan sebuah tosan
kepada setiap orang yang ada disana. Eci terlihat begitu akrab dengan mereka
semua. Tetapi aku melihat eci begitu berbeda dari dirinya yang di sekolah. Di
sekolah, dia begitu tidak peduli dengan orang di sekitarnya, sama seperti ku
tidak berteman dengan siapa pun.
Tetapi aku merasa semakin asing di sini. Aku menyadari
seseorang seperti ku tidak seharusnya disini malam ini. Aku pun menghampiri eci
dan mengajaknya untuk pulang.
“aku nggak nyaman rasanya disini ci, kita pulang aja ya.”
Pintaku pada eci dengan berbisik di telinganya. Eci sepertinya ragu untuk
pulang, dengan mata berkaca-kaca aku terus menatap eci, berharap dia menyetujui
permintaanku.
“yahh loe nggak asyika ra. Tunggu bentar lagi deh ya,” jawab
eci dengan wajah kecewa.
“besok kan kita ada ulangan ci.” Bujukku lagi berusaha
meyakinkan eci.
“iya deh, gue bilang ke teman-teman dulu ya.” Akhirnya eci
memenuhi keinginannku.
“aku ke seberang duluan ya ci,” kata ku pada eci. Dengan
gembiranya aku menyeberangi jalanan sepi ini. Tanpa kusadari, ini adalah
jalanan uang digunakan untuk balapan liar sepeda motor setiap malam nya.
Brum..brumm..brumm
Tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang ke arah ku. Aku
terkejut dan menoleh ke arah motor tersebut, lampunya sangat menyilaukan mataku
hingga kaki ku terasa lemas dan tak mampu untuk melangkah.
“awaasss raaa....” terdengar suara teriakan eci. Dan sebuah
dorongan kuat melempar tubuhku. Aku terpental ke depan. Kabut hitam memenuhi pandanganku
dan aku tak mendengar suara berisik lagi. Semuanya hanya gelap.
***
Terang...
Aku merasakan cahaya masuk ke pori-pori mataku hingga
tertangkap oleh retina. Tapi hanya cahaya putih. Perlahan aku membuka kedua
kelopak mata. Meski masih samar, terlihat jelas wajah seorang wanita tua dengan
mata berkaca-kaca. “dara, kamu sudah sadar sayang?” tanya ibuku.
Aku hanya bisa mengangguk perlahan. Segera tersadar olehku,
dimana eci? Kenapa dia tidak menemaniku saat ini?
Meskipun berat, aku bertanya “ mana eci bu?”
Ibu hanya diam dan tidak menjawab pertanyaanku.
“eci udah meninggal dara.” Seseorang yang tidak begitu
kukenali muncul dari belakang ibu. Mendengarnya aku terkejut dan kulihat ibu
juga mengatakan hal yang sama dari rona wajahnya. ibu pun terduduk di kursi di
dekat kasurku.
Sekarang aku dapat melihat wajah laki-laki itu dengan jelas.
Dia temannya eci, yang membalas sapaanku malam itu.
“waktu kejadian, eci melihat motor yang melaju ke arah loe.
Dan tanpa pikir panjang, dia berusaha nyelamatin loe ra. Dia yang udah
ngedorong loe sampai jatuh. Tapi..” sambungnya lagi, dan berhenti sambil
mengehela napas.
“tapi apa??” serbuku padanya. Aku tak sabar lagi dengan
berita yang disampaikannya.
“tapi nasib berkata lain ra, motor tersebut nabrak eci. Eci
terpental jauh dan segera dilarikan ke rumah sakit. Dokter bilang kalau eci
udah nggak bisa diselamatin.”
Aku bisa melihat dengan jelas, tidak ada kebohongan dari
wajahnya. walaupun dia tidak menangis, tapi mata nya mengungkap kesedihan yang
sangat mendalam. Sedangkan aku tidak mampu lagi berkata-kata. Hanya
tetesan-tetesan air mata yang terus mengalir. Mengungkap semua perasaanku saat
ini. Sedih dan marah, semua bercampur jadi satu. Marah pada diriku yang
mengajak eci untuk pulang. Marah pada diriku yang begitu ceroboh. Marah pada
diriku yang hanya bisa menangisi kepergiannya. Aku menangis karena sedih. Hanya
satu alasanku bersedih. Sedih karena kehilangan.
***
5 bulan berlalu..
Kesedihanku terus berlanjut dan itu berdampak buruk pada
prestasi belajarku. Pada penerimaan rafor semester kemaren, aku tergeser dari
posisiku selama ini. Aku dikalahkan oleh teman sebangku yang jarang sekali
bertegur sapa dengan ku. Apalagi semenjak kejadian naas itu. Semua teman-teman
semakin memandang rendah pada ku. Mereka tidak menyalahkanku sebagai penyebab
kematian eci. Mereka mendapat berita dimana dan kapan kejadian perkara. Waktu
dini hari menjelang pagi dan bertempat di tempat balapan liar.
Hal itu menjadi bahan candaan baru bagi mereka. Mereka
bilang cewek-cewek yang biasa nonton balapan liar itu namanya cabe-cabean. Ya,
cabe-cabean.
Semenjak itulah istilah ini melekat pada diriku. Bodohnya
aku tak mampu berkutik sama sekali begitu mendengar sebutan itu ditujukan ke
arahku. Aku sadar bahwa aku jauh berbeda dari mereka. Aku hanyalah anak seorang
buruh pabrik miskin yang mendapat beasiswa prestasi di sekolah elite ini.
Sekolah tempatnya anak-anak orang kaya, aku tak seharusnya berada disini.
Apa peduli ku dengan semua kata mereka? Bukannya mereka
sudah biasa memperlakukan aku seperti ini? Hanya saja bedanya, kalau dulu
mereka menjuluki ku si kutu buku, sekarang beganti nama menjadi cabe-cabean.
Eci bilang
“loe nggak usah peduliin mereka yang mandang sinis sama loe, itu semua karena mereka nggak bisa jadi seperti loe.
Loe seharusnya bangga jadi
orangg terpopuler satu sekolahan ra. Bahkan loe ngalahin kepopuleran anak
pemilik sekolah. Keren loe ra, salutt gue!”. Kata-kata yang pernah terlontar
dari eci. Tapi sekarang dia tak ada lagi. Tak ada lagi yang menyemangatiku.
Walaupun hanya sebentar kami berteman, tapi itu menjadi sangat berarti bagiku.
Satu lagi kenanganku tentang Eci, prasangkanya pada ayahku
ternyata benar. Malam itu ayah mabuk berat karena banyak hutangnya pada
rentenir. Dan wanita yang mengantarnya pulang adalah pemilik warung tempat ayah
mabuk. Ayah menjadi pelanggan terakhirnya malam itu dan tidak mampu lagi bangun
setelah menghabiskan beberapa botol minuman. Semenjak saat itu ayah menjadi
sadar dari kebiasaan buruknya. Sekarang dia tidak lagi bermain judi. Aku sangat
bangga pada ayahku yang sekarang.
Dara, kamu harus percaya diri. Tidak peduli pada mereka
yang membencimu karena kamu terlalu sibuk untuk membahagiakan mereka yang
menyayangimu. Aku harus tetap semangat demi orang tua ku.
“aakuu haaruuss semangaattt.. yeee...” teriakku dan bangkit
dari lamunan panjang yang membuatku tidak sadarkan diri. Aku membuka mata lebar
dan merasa sangat malu ketika semua mata tertuju padaku. Aku baru teringat
bahwa hari ini pengumuman hasil kelulusan. Kami sedang menunggu pengumumannya ditempelkan
di depan mading.
“ahh..aku malu sekali” bisikku dalam hati sambil menunduk
dan berusaha menutupi muka dengan brosur yang kupegang. Brosur dari beberapa
bimbingan belajar untuk mengikuti kelas intensif persiapan SNMPTN yang
dibagi-bagikan di gerbang sekolah.
Taptaptaptaptap...
Aku mendengar langkah kaki berlarian menuju ke arah mading.
Ternyata pengumumannya sudah keluar dan ditempel di mading oleh pak Asmad,
wakil kurikulum.
Aku tidak mau ketinggalan, aku pun segera melangkah menuju
mading. Aku menerobos dalam kerumunan teman-teman yang lain. Hanya mengatakan kata
“permisi”, mereka langsung membukakan jalan untukku. Hmm..sedikit bangga.
Padahal mereka begitu bukan karena hormat padaku, tetapi karena tak ingin
bersentuhan dengan baju lusuh anak buruh miskin penerima beasiswa prestasi di
sma bergengsi ini. Apa peduliku kali ini, yang terpenting aku mendapat posisi
paling dekat melihat hasil kelulusanku. Mataku mulai liar mencari-cari namaku
pada kolom kelulusan. Tidak kusangka ternyata namaku pada posisi paling atas,
Dara Putri.
“selamat ya Dara!” suara pak Asmad mengagetkanku. Ternyata,
pak Asmad masih berada di dekat mading. Aku segera menyelami beliau dan
mengucapkan terima kasih.
“Kamu adalah lulusan dengan hasil UN terbaik SMA Tunas
Bangsa tahun ini, sekali lagi selamat ya DARA.” Beliau menyambung lagi sambil
bertepuk tangan dengan tersenyum lebar. Aku berterima kasih pada Tuhan untuk
karuniaNya dan pak Asmad sebagai orang pertama yang mengucapkan selamat padaku. Tanpa
kusadari setetes air mataku tergelincir , tapi tanganku segera menyekanya.
Tepuk tangan pak Asmad diiringi sorak sorai teman-teman yang lain. Mereka juga
bertepuk tangan untukku. Bahkan satu persatu dari mereka memberiku selamat dan
mengucapkan permintaan maaf. Aku hanya mampu berucap terima kasih dan tidak
mampu menahan air mata bahagia ini.
Terimakasih Miss SB yang telah mengirimkan karya tulisnya. Semoga pesan2 yang ingin di sampaikan melalui cerpen bisa tersampaikan kepada pembaca.