Thursday, February 23, 2012

Cerpen Pendidikan - Orang tua adalah Segalanya

Cerpen Pendidikan - Orang tua adalah Segalanya

kata kata cinta,kata kata mutiara,kata motivasi,pidato singkat,berita bola,kata kata gombal,kata kata lucu,cerpen pendidikan,cerpen sedih,tutorial blog,zodiak,ramalan bintang,berita terkini,otomotif,kata selamat ulang tahun,kata selamat hari ibu,kata kata galau

Cerpen Pendidikan - Orang tua adalah Segalanya.

Sahabat berikut ini ada Cerpen Pendidikan  dengan judul Orang tua adalah Segalanya. Sahabat tentunya sangat menyayangi orang tua sahabat . Penuh kasih sayang mereka membesarkan kita hingga saat ini sahabat . Nah sahabat dalam cerpen ini banyak pelajaran yang bisa sahabat dapatkan.Semoga cerpen ini bermanfaat untuk kita smua sahabat .

Alkisah tentang seorang anak yang telah sukses. Meeting pun selesai, Irf pun berpamitan dengan para klien dengan mendapatkan hasil yang menggembirakan. Jabat tangan erat menghangatkan pada hiruk pikuk malam yang basah dan pertemuan dengan kliennya pun usai. Seperti biasa, apabila hasil yang di inginkan tercapai, manusia akan tersenyum senang.

Waktu telah menunjuk pukul 12 malam, Irf pun beranjak pulang. Tampak teramat letih karena sejak pagi bekerja tanpa henti menguras pikiran.

Seperti biasa pak Bidin adalah teman setia Irf yang selalu mengantar kemana saja Irf bekerja. Pak Bidin telah bekerja dengan Irf sudah sejak 10 tahun lalu. Tiba- tiba “kemana ya Pak Bidin?” Ucap Irf. “Harusnya dia ada disini, wong parkirannya juga tidak begitu luas.

Dengan rasa penasaran Irf lihat kiri dan ke kanan, Pak Bidin pun tak kunjung keliatan. Sampai akhirnya Irf pun memencet tuts ponselnya.

“Hallo Pak Bidin” Dimana? Kok enggak ada di tempat parkiran?”

“Iya pak maaf, lima menit lagi saya sampai pak” Ucap Pak Bidin yang sepertinya dalam perjalanan menuju ke tempat Irf meeting dengan para kliennya.

Lima belas menit pun berlalu, tak ada terlihat lampu mobilnya Irf masuk ke halaman parkiran. Irf makin kian gelisah tak menentu. Sempat terpikir untuk naik taksi saja pulang ke kantor. Akhirnya Pak Bidin yang di tunggu sejak tadi sudah datang, Irf yang kesal langsung masuk mobil dan karena letih dan lelah bekerja ditambah lamanya menunggu, hampir saja Irf menumpahkan kekesalannya kepada Pak Bidin, bila Pak Bidin tak segera menyambut dengan senyum dan permintaan maaf.

Saat Irf menghidupkan radio mobil, matanya menoleh ke sesuatu yang dibungkus dengan pastik berwarna hitam. Dan ternyata sebuah plastic inilah yang membuat Pak Bidin datang terlambat. Tercium bau seperti Nasi Ayam kuah yang menusuk hidung dari bungkus plastik tersebut.

"Nasi Ayam ini buat ibu saya pak, tapi ngantrinya lama banget,

maaf ya pak," kata Pak Bidin sekali lagi.


“Ibu saya sudah tua dan sangat susah menemukan selera makannya. Nah, biasanya dengan menu nasi ayam ini dia mau makan pak dan biasanya lahap," cerita Pak Bidin tentang Si Sang Ibu yang kini tersisa dan Ayahnya sudah lama wafat. Ibu dan ayah mertuanya pun demikian.

Mendengar ceritanya Pak Bidin, pikiran Irf berterbangan entah ke mana-mana. Dan yang pasti, nasi ayam ini jika diletak dalam mobil sudah pasti akan cepat dingin. Sementara perjalanan ini masih cukup panjang. Pertama, Pak Bidin harus mengantarkannya pulang ke rumah. Lalu Pak Bidin kembali ke kantor untuk mengembalikan mobil perusahaan. Nah setelah itu Pak Bidin masih harus menempuh perjalanan belasan kilometer dengan sepeda motornya dan sudah pasti jadi anyep nasi nasi ayam ini.

"AC-nya dimatikan saja Pak Bidin, dingin banget, saya juga pengen merokok."

Dalam hatinya Irf ingin agar nasi ayam yang dibawa Pak Bidin tak begitu dingin. Begitu AC dimatikan , Irf pun membakar rokoknya.

Dalam asap yang tersembur melalui kaca mobil, pikirannya tiba-tiba melayang pada ibunya yang sudah sejak kapan tahun yang berada di sudut kota. Sudah lama dia tidak menyambangi ibunya itu. Entah kesibukan pekerjaan dan berbagai aktivitas yang harus dihadapinya, sering kali kerap membuatnya lupa untuk sekadar mungkin hanya meneleponnya.

Pak Bidin saja, yang penghasilannya pas-pasan bila dibandingkan dirinya, berusaha mati-matian menyisihkan sedikit uang untuk membeli sebungkus nasi ayam. Sedangkan dirinya, apa?!!

Irf nyaris melupakan semuanya tentang ibunya, tentang perempuan yang melahirkan dan membesarkannya dengan segala suka dan dukanya melalui kedua tangan keriput Ibunya. Dan dia tahu, ibunya sangat menyukai goreng pisang dan segelas kopi hangat yang katanya selalu menjadi menu romantis bersama Sudri, Ayahnya Irf. Irf mengambil ponselnya untuk menelepon ibunya. Sayang tak ada jawaban. Kemungkinan sudah tidur. Erfin, Iren dan Indah, ketiga adiknya yang setia menemani ibunya juga pasti terlelap.

Tak lama setelah melewati perempatan jalan, Irf pun menyuruh Pak Bidin menghentikan mobilnya. Padahal jarak menuju ke kantor masih sangat jauh.

"Gini aja pak, pak Bidin langsung saja pulang, bawa saja mobil kantor ini pulang kerumah. Motor Pak Bidin biarkan di titip dikantor. Nanti Pak Bidin kemalaman sampai di rumah, kasian Ibu Pak Bidin menunggunya nanti kelamaan"

Irf memilih untuk meneruskan perjalanan dengan menggunakan taksi. Betapa indahnya hidup Pak Bidin, yang teramat sangat menyayangi ibunya.

Tak lama kemudian, Irf menyetop taksi. Di kursi belakang taksi berwarna kuning itu, perasaan haru, bersalah, rindu bergelojak menjadi satu.

Sebuah janji yang pernah tercatat dalam hatinya, akhir pekan ini dia akan mengunjungi ibunya. Bersama dengan Biyah, putri mungil juga cucu pertama dari keluarga Irf dan Mayarni sang istri tercinta.

Mother : how are you today?Don't worry mom,I'm fine.
Promise me to see you this summer.
This time there will be no delay with Biyan and Mayarni.

*****TRANSLATE IN INDONESIA*****

Ibu : bagaimana kabarmu hari ini ?
Jangan kawatir bu, aku baik-baik saja.
Janjiku untuk melihatmu pagi ini

Sahabatku.......
Seberapa banyak waktu untuk kerja?
Seberapa banyak waktu untuk Orangtua?

Sibukah dengan sejuta aktivitas kerja yang sehingganya membuat lupa akan kehidupan pribadi, kehidupan dimana kamu kecil dirumah.

Segudang aktivitas yang membuat terlena, bahwa dibalik kesuksesan kerja ada mereka yang mendidik, membesarkan, mencari nafkah susah payah demi kesuksesan kita. Sejuta pekerjaan yang membuat kesombongan itu ada, membuat lupa bahwa kita tidak ada apa-apanya tanpa mereka.

Entah apa yang dikejar hingga membuat kita sering lupa siapa diri ini sebelumnya. Diri yang dulu hanya bisa merangkak, hanya bisa menangis, hanya bisa meminta.

Bagi Ayah dan Ibu itu sederhana

Kepada Anak ku
Ingatlah kepada kedua tangan kami.

Terima kasih ibu dan ayah atas perhatianmu kepada kami. kalian adalah sebuah kisah yang tak pernah usai kami ceritakan.

Janganlah pernah kita melupakan orang tua kita yang telah melahirkan kita,merawat kita dari kecil hingga sukses,dan selalu mendoakan setiap mereka solat.Ingat,sesungguhnya sampai kapanpun jasa orang tua kita tak akan dapat kita balas sampai mati pun tidak bisa!Jadi berusahalah semaksimal mungkin untuk membuat orang tua kita bahagia


Klik disini sahabat untuk baca cerpen pendidikan lainnya

Cerpen Pendidikan - Orang tua adalah Segalanya.

Tutur Tinular 4 - Lembah Berkabut Season 6 Tamat

Tutur Tinular 4 - Lembah Berkabut Season 6 Tamat

kata kata cinta,kata kata mutiara,kata motivasi,pidato singkat,berita bola,kata kata gombal,kata kata lucu,cerpen pendidikan,cerpen sedih,tutorial blog,zodiak,ramalan bintang,berita terkini,otomotif,kata selamat ulang tahun,kata selamat hari ibu,kata kata galau



Sahabat pemikir cerdas untuk TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut ini merupakan season terakhirnya sahabat . Lain waktu nantinya akan di postkan juga TUTUR TINULAR 5 ya sahabat.Baiklah sahabat lansung aja deh, selamat membaca sahabat.
Prajurit Singasari mendirikan tenda darurat di halaman rumah penginapan desa Apajeg. Sementara itu Pranaraja, Jarawaha, Ganggadara,Mpu Hanggareksa dan Ranggalawe istirahat di ruangan tidur masing-masing. Pagi hari pun tiba.

Mpu Hanggareksa baru saja selesai membersihkan badannya ketika mendadak terdengar keributan di halaman penginapan. Pranaraja memandang Mpu Hanggareksa dan berusaha menajamkan pendengarannya. Keduanya buruburu memandang ke arah datangnya suara keributan itu.

"Tuan! Tuan Hanggareksa?”

 “Ada apa, Tuan Pranaraja?”

 “Ada keributan di halaman rumah penginapan ini. Tuan segera saja berpakaian, saya akan melaporkan hal ini pada Gusti Ranggalawe." Pranaraja segera melompat meninggalkan Mpu Hanggareksa. Sementara itu, di pelataran penginapan desa Apajeg telah terjadi perkelahian sengit. Jaran Bangkai dan Jaran Lejong membuat keributan, keduanya mengganggu prajurit Singasari. Melihat kejadian itu, Jarawaha segera menyibak di tengah kerumunan mereka. Ia tersenyum sinis pada Jaran Bangkai dan Jaran Lejong yang sudah siap menyambutnya dengan kuda-kuda.

Beberapa prajurit menghunus pedang dan siap bertarung.

"Minggir! Kalian semua minggir! Masukkan kembali senjata kalian ke dalam sarungnya. Kami berdua tidak membutuhkan prajurit! Kalau hanya untuk menghajar dua perampok tengik macam mereka ini." Melihat kehadiran Jarawaha dan Ganggadara dua berandal itu makin beringas dan tertawa lebar, "Hahahah! Dulu kami berdua pernah kalian kalahkan di desa Jasun Wungkal," ujar Jaran Bangkai sombong sekali.

"Dan sekarang kalian akan kami ringkus!" tukas Ganggadara tak kalah sengit.

"Hehehehe? Dengar Adi Jaran Lejong! Mereka akan meringkus kita katanya? Apakah mereka ini tidak malu dilihat anak buahnya, kalau sampai kita buat babak belur?" ejek Jaran Bangkai disusul dengan ledakan tawanya.

"Kurang ajar! Hiaaaaa...!" mendengar cemoohan itu, Ganggadara terpancing dan menjadi naik pitam. Ia menggebrak dengan tebasan pedangnya yang sangat tajam.

Namun, baru satu gebrakan saja mereka terpaksa menghentikan-pertarungan.

"Hentikan! Hentikan! Jarawaha, Ganggadara! Apa yang kalian lakukan? Heh, bukankah kalian Jaran Bangkai dan Jaran Lejong?" Pranaraja setengah tak percaya melihat siapa yang ada di depan matanya. Kedua berandal itu masih juga menjadi biang keributan seperti beberapa waktu yang lalu.

"Heheheh, benar. Apakah Tuan bermaksud turun ke gelanggang juga?”

 “Jaran Bangkai! Dulu kau dan kawanmu itu pernah kuampuni, mestinya kalian berdua sudah tidak mempunyai tangan lagi untuk membuat kejahatan-kejahatan yang baru.”

 “Sekarang kita tidak perlu mengampuninya lagi, Tuan Pranaraja. Dua penjahat seperti mereka ini sudah sepantasnya diremukkan tulang-belulangnya," timpal Jarawaha menahan marah.

"Huuuh! Sombong! Lakukanlah kalau kalian bisa!”

 “Jaran Lejong! Kalau kalian tidak mau mengalah, kalian akan berhadapan dengan pemerintah Singasari.”

 “Tuan Pranaraja! Baik sekarang, besok atau pun lusa, kami tidak sudi menyerah.”

 “Perkataanmu semakin tidak sopan saja! Hiaaaa...!" Jarawaha tak sabar lagi, tanpa menunggu perintah atasannya ia langsung melompat dan menerjang dengan tebasan pedangnya. Gebrakannya disambut oleh Jaran Lejong dengan tangkisan pedangnya hingga kedua senjata itu berdenting hebat. Benturan dua senjata itu menimbulkan percikan api.

"Hentikan!" bentak Pranaraja sehingga Jarawaha melompat mundur dan menjejakkan kakinya di sisi Pranaraja beberapa langkah. Pranaraja marah. "Kau jangan bertindak atas nama pribadimu sendiri, Jarawaha.

Dua orang ini jelas mau menghina pemerintah Singasari.

Karena itu dia harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Singasari. Ayo, kalian jangan hanya menonton! Tangkap dua orang ini! Ringkus merekaaa...!" Prajurit Singasari yang berjumlah dua puluh orang itu secara bergantian menyerang Jaran Bangkai dan Jaran Lejong. Kadangkala lima orang prajurit menyergap serentak, kemudian dilanjutkan dengan empat atau lima orang prajurit lainnya. Tapi Jaran Bangkai dan Jaran Lejong memang tangkas dan mempunyai kepandaian di atas rata-rata prajurit Singasari. Dengan pedang panjangnya mereka berusaha membendung serangan yang datang beruntun.

Mendadak sebuah bayangan berkelebat ringan dan langsung terjun ke gelanggang pertempuran. Hanya dalam satu gebrakan saja bayangan itu sudah berhasil membuat jungkir balik dua orang prajurit Singasari. Kedua prajurit Singasari itu menjerit roboh dan tertelungkup mencium tanah. Darah pun muncrat dari perutnya membasahi tanah.

Melihat pemandangan seperti itu Pranaraja memberikan aba-aba pada bawahannya.

"Hentikan!Mundur semua!Munduuurrr." Seketika para prajurit Singasari pun mundur menjauhi medan perkelahian. Pertempuran pun berhenti. Keadaan sejenak menjadi sunyi.

Pranaraja membelalakkan matanya melihat ke arena. Di sana berdiri seseorang yang tampaknya pernah dilihatnya.

"Ada yang ikut campur urusan ini. Siapa kau?" bentaknya penasaran melihat sosok orang itu.

Bayangan yang ternyata adalah seorang wanita berwajah cantik itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum ke arah Pranaraja. Senyuman itu sangat manis, tapi mendadak berubah menjadi sangat dingin dan menyeramkan. Wanita berparas cantik itu masih tertawa. Tawanya melengking tinggi, dan bila terdengar pada malam hari bisa membangunkan bulu roma.



@@@

? Wanita berparas cantik itu terus tertawa memperhatikan kerumunan orang-orang yang menontonnya menjadi tampak bodoh. Mereka yang berkumpul di halaman hanya melihat sambil bertanya-tanya dalam hati apa maksudnya.

Pranaraja melompat ke depan.Wanita itu mendengus.

"Kauu... kau pun sepertinya pernah kulihat. Ya. Di tempat yang sama. Waktu itu aku hampir saja memotong lengan dua perampok itu. Kau dan teman laki-lakimu datang dan membawa mereka pergi," geram sekali Pranaraja menghardik wanita cantik di depannya.

"Kau sudah lupa siapa namaku, Tuan Prajurit?" wanita cantik itu berkata sinis dengan bibir mencibir pada Pranaraja.

"Aku ingat. Sebelum pergi mereka menyebutkan nama mereka lebih dulu, Tuan. Dewi Sambi. Bukankah benar itu namamu?" Jarawaha mengingatkan Pranaraja pada peristiwa beberapa waktu yang lalu.

"Ya, benar, Kau prajurit yang baik." Dewi Sambi mengibaskan rambutnya yang menutupi kening.

"Lalu mengapa kau ikut campur urusan kami lagi?" tanya Pranaraja dengan suara berat dan dalam.

"Jaran Bangkai dan Jaran Lejong sudah menjadi orangorangku.

Setiap persoalan yang menyangkut diri mereka, aku tidak akan berpangku tangan. Aku pasti ikut campur," jawab wanita cantik itu tegas, lugas dan penuh kebanggaan.

Jaran Bangkai dan Jaran Lejong pun turut mengangguk dan memberikan hormat pada pimpinannya.

"Apakah kau bermaksud membela anak buahmu yang telah membuat kesalahan?" semakin tak sabar Pranaraja bertanya, saat ini disertai gerakan kaki mengukuhkan kudakuda.

"Mereka membuat kesalahan? Kesalahan apa?”

 “Mereka telah menghina kami, prajurit-prajurit Singasari.”

 “Hmm...., apa benar begitu? Biarlah aku akan tanyakan pada yang bersangkutan." Dewi Sambi tetap menunjukkan wajah asam, berpaling pada anak buahnya tanpa menggeser dari tempatnya berdiri dengan kedua kaki kukuh terpancang di tanah. Jaran Bangkai dan Jaran Lejong seketika memberikan hormat dengan sedikit membungkukkan badan mereka.

"Apa yang telah kaukatakan pada mereka sehingga mereka merasa terhina, Jaran Bangkai?”

 “Saya tidak mengatakan apa-apa, Tuanku Putri Sambi.

Adi Jaran Lejong yang telah bertengkar dengan orang itu," jawab Jaran Bangkai tegas dan kembali membungkuk hormat. Dewi Sambi memandang Jaran Lejong dengan ekor matanya.

"Kau telah berkata apa, Jaran Lejong?”

 “Saya, saya... hanya berkata bahwa prajurit Singasari berpakaian bagus. Tapi kalau misalnya saya disuruh menjadi prajurit, saya tidak akan mau.”

 “Mengapa tidak mau?”

 “Soalnya saya tidak berbakat menjadi prajurit. Apalagi prajurit Singasari sekarang ini. Saya tidak tertarik sama sekali. Saya katakan lebih baik saya menjadi seorang pedagang makanan." Selesai menjawab Jaran Lejong kembali memberi hormat.

"Naah! Itu berarti kau menghina kami, prajurit-prajurit Singasari," potong Ganggadara menahan amarah.

"Tidak! Kurasa dia tidak bisa dikatakan menghina.

Kalian saja yang mudah tersinggung, mudah terhina," sahut Dewi Sambi ketus.

"Jelas dia sudah menghina kami Dia katakan lebih baik menjadi pedagang makanan, daripada menjadi prajurit Singasari," tukas Jarawaha dengan suara parau "Yaaa! Prajurit Singasari hanya mentereng pakaiannya.

Tapi isinya kosong melompong. Buktinya, kalian tidak bisa berbuat banyak menghadapi kami berdua?" ejek Jaran Bangkai sambil memegang gagang pedang yang terselip di pinggangnya.

"Kalian hanyalah prajurit pajangan. Gentong nasi yang hanya menghabiskan kekayaan negara. Bwaaahhh!" ejek Jaran Lejong sambil meludah ke tanah.

"Kurang ajar. Hiaaaahhhh!" Jarawaha benar-benar tidak dapat menahan diri. Pemuda berotot itu langsung menggebrak Jaran Lejong yang dianggapnya sangat sombong. Jarawaha menerjang sangat kuat ke arah perut dan menghantamkan tangan kanannya pada leher Jaran Bangkai, namun ia terkejut karena yang dipukulnya dapat berkelit begitu rupa. Ia berdiri tegak dan memasang kudakuda sambil mencabut pedangnya. Jaran Bangkai melakukan hal yang sama. Pedang yang sangat tajam itu berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari. Mereka saling menatap tajam dan akhirnya keduanya sama-sama menyabetkan pedang itu. Suara berdenting menambah keriuhan perkelahian itu.

"Tunggu! Kau tidak usah terburu nafsu menunjukkan ketajaman mata pedangmu!" bentak Dewi Sambi membuat keduanya menghentikan perkelahian. Bahkan wanita cantik itu melompat dan berdiri di antara keduanya.

"Minggir kau perempuan! Jangan berdiri di hadapanku!" hardik Jarawaha dengan menggeretakkan giginya.

"Aku tidak ingin melihat kalian menyakiti anak buahku.

Kalau masih ada yang nekad, aku akan mengambil tindakan demi keadilan.”

 “Jangan banyak mulut! Minggir atau ujung pedangku ini akan mencoreng moreng wajahmu dengan darah! Hiaaa!" tiba-tiba Ganggadara ikut menyerang dan menggebrak dengan sabetan pedangnya yang sangat tajam. Tapi pemuda itu betul-betul terkejut sebab wanita cantik itu sekalipun dibokong dari belakang dapat berkelit dari serangannya, bahkan kedua tangannya ditarik tepat di depan dadanya dan kedua tangan itu dihempaskan kearahnya dengan jemari terbuka. Dari kedua telapak tangan itu meluncurkan tenaga yang sangat dahsyat dan menghantam tepat di dada Ganggadara. Pemuda berotot itu terhuyung dan roboh ke tanah dengan mendekap dadanya yang terasa sesak.

"Ohh! Aji Tapak Wisa?" Pranaraja ikut terkejut melihat kenyataan itu.

"Barangsiapa yang masih mau mencoba menyerang kami, akan mendapat ganjaran yang serupa dengan orang ini!" ancam Dewi Sambi dengan memandang rendah pada Ganggadara yang matanya mendelik, hidungnya kembang kempis dan bibirnya meletat-meletot karena menahan dada yang sangat sesak akibat pukulan aji TapakWisa.

"Ehh, eehh... napasku... dadaku... rasanya panas sekali," keluh Ganggadara makin mendelik.

"Dewi Sambi! Kau sudah berani melukai anak buahku.

Tahukah kau apa artinya?" tanya Pranaraja dengan sikap waspada.

"Hii...hii... artinya kau mau membelanya bukan? Kau mau turun tangan demi menjaga harga diri seorang prajurit.

Nah, silakan!”

 “Huuuh! Kau memang hebat, karena mempunyai pukulan Tapak Wisa. Tapi bukan berarti aku menjadi gentar!" Pranaraja mencabut pedangnya yang tipis tetapi berpamor tinggi. Pedang itu berkilat-kilat. Telapak tangan kirinya terbuka lalu pedang itu ditumpangkan di sana sambil ditarik perlahan seperti mengasahnya, "Ayo, Dewi Sambi! Kita adu kesaktian! Kalau aku sampai kalah, kau boleh pergi bersama dua orang kawanmu itu dan kami mengaku bersalah. Tapi kalau kau sampai kalah, kalian bertiga harus menyerah dan mau kubawa ke kota Singasari sebagai tawanan!”

 “Hihihii... boleh! Boleh? Ayo, mulailah! Kerahkanlah seluruh kepandaianmu, supaya tidak mengecewakan anak buahmu yang sekarang melihat tingkah lakumu." Pranaraja tak sabar lagi. Ia langsung menggebrak wanita itu dengan tebasan-tebasan maut. Dewi Sambi melompatlompat lincah sekali bagaikan burung srikatan bermainmain dengan kutu terbang. Setiap kali bergerak disertai dengan pekikan-pekikan berkekuatan tinggi. Suaranya nyaring dan mengerikan. Pranaraja benar-benar penasaran dan sangat gusar dibuatnya. Pranaraja menganggap kelakuan Dewi Sambi benar-benar kurang ajar. Ia tidak mau dibikin malu di depan musuh dan anak buahnya, sambil mempererat genggamannya pada gagang pedang maka ia langsung menyerang dengan kekuatan penuh, "Hiaaaa... hiaaaaahh!" perwira itu melenting ke udara dan menghempaskan pedangnya ke arah leher wanita itu. Tapi sekali lagi tebasannya hanya menyambar angin. Suara pedang itu bersiut kencang sekali, berdengung panjang seperti suara gangsingan. Angin pedang Pranaraja bersuitan membabat kiri kanan. Prajurit-prajurit yang melihat menjadi bangga mempunyai seorang panglima muda seperti Pranaraja. Tapi mereka heran sekali. Sudah lebih dari sepuluh jurus Pranaraja menyerang, lawannya kelihatan belum ada tanda-tanda bisa dikalahkan. Bahkan keadaan menjadi berbalik, manakala wanita berwajah cantik itu mulai membuka serangan dengan jurus-jurus andalannya.

Kedua belah tangan Dewi Sambi terjulur ke depan, dan telapak tangannya mengembang.

"Hiaaaaaiiihhhh!" Dewi Sambi menghantamkan aji Tapak Wisa tepat ke arah dada Pranaraja yang membabibuta menyerangnya. Namun, wanita cantik itu terkejut karena hantamannya membentur tenaga dalam yang sangat dahsyat. Pukulannya terbendung oleh sesuatu yang melesat cepat menghadang di depannya.Mata Dewi Sambi melotot, napasnya terengah-engah menahan geram. Mulut mungilnya setengah terbuka ketika memperhatikan lelaki tinggi besar berjambang lebat yang berdiri di depannya.

Sementara Pranaraja dengan cepat memberikan hormat.

"Ohh, Tuanku. Tuanku telah menyelamatkan nyawa saya!”

 “Kurang ajar! Siapa kau berani menghadang jurusku yang berbahaya ini?" hardik Dewi Sambi sambil menjejakkan kaki kanannya.

"Pranaraja! Minggirlah sebentar! Ajaklah Ganggadara ke serambi depan, supaya Paman Hanggareksa melihat luka dalamnya." Pranaraja tanpa komentar langsung melakukan perintah lelaki tinggi besar dan berwibawa itu. Suaranya yang berat dan dalam sempat menggetarkan hati Dewi Sambi yang memuji di dalam hati.

"Siapa kau berani turun gelanggang membela prajurit Singasari itu?" tanyanya dengan nada penasaran dan melangkah dua tindak mendekat.

"Sabar, Dewi Sambi! Semua nanti bisa kita selesaikan dengan sebaik-baiknya," lelaki tinggi besar itu menoleh pada Pranaraja yang kuwalahan memapah Ganggadara.

Lelaki itu mengangkat dagunya yang kukuh.

"Cepatlah angkat Ganggadara! Mudah-mudahan luka dalamnya tidak terlalu parah," suaranya yang berat kembali memberi perintah.

"Dia akan mampus kalau aku menggunakan pukulan ilmu TapakWisa seluruhnya," tukas Dewi Sambi mencibir.

"Kalau begitu ampuh sekali pukulanmu itu, Dewi Sambi.”

 “Kalau kau ingin mencicipinya, aku akan memberimu kesempatan.”

 “Hmmm, boleh juga. Siapa tahu pukulanmu lebih lezat dibanding semangkuk arak yang paling enak.”

 “Kau akan menyesal karena kesombonganmu!”

 “Aku tidak pernah menyesali apa yang pernah kulakukan!”

 “Hiaaaaihhh! Heeiit! Hiaaaatttt!" Dewi Sambi tak sabar lagi menghadapi musuh barunya. Ia mundur beberapa tindak dan berusaha melabrak lelaki tinggi besar itu. Satu gebrakan pukulannya dapat dielakkan dengan mudah sehingga serangannya hanya terhempas di udara. Tanpa diminta ia menghentikan serangannya dan memandang serius ke arah lawan barunya sambil menghardik.

"Baguuusss! Agaknya kali ini aku mendapat lawan yang seimbang. Awasss! Berhati-hatilah! Sekarang kau tak bakalan bisa lolos dari jurus berantaiku ini! Hiiaaaaihhh! Heeiiit! Hiaaaah? Hiih! Hiih." Dalam gebrakan yang kedua itu Dewi Sambi berputar-putar dengan gerakan-gerakan sangat cepat dan sulit dilihat dengan mata biasa Setiap kali mendapat peluang kedua tangannya dihempaskan ke depan tepat ke arah lawan tangguhnya. Terdengarlah benturan dahsyat yang menggema akibat dua tenaga dalam yang dilontarkan kedua tokoh tangguh itu. Memang benar apa yang dikatakan wanita berparas cantik yang bernama Dewi Sambi itu, laki-laki tegap perkasa yang kini menjadi lawan tandingnya itu ternyata memiliki kepandaian yang mampu mengimbangi permainan jurus-jurus mautnya. Sementara itu, di pihak lelaki perkasa itu tidak kurang herannya.

Sekalipun seorang wanita, kemampuan Dewi Sambi tak boleh dianggap enteng. Apalagi pukulan Aji Tapak Wisa yang mengandung racun, kalau sampai dia lengah, bisa roboh menjadi korban pukulan maut itu. Karena itu Ranggalawe terpaksa menggunakan tenaga dalamnya untuk menahan arus pukulan yang terasa semakin panas dan berbahaya.

"Heeeeiiiittt! Hiaaaaaahh!" kembali lagi wanita cantik itu melancarkan serangannya dengan jurus-jurus mautnya.

Lelaki tegap perkasa itu memagari dirinya dengan tenaga dalam dan mengimbangi serangan dengan jurus-jurus andalannya. Ketika keduanya semakin sengit bertarung tiba-tiba mendekatlah seorang cebol dengan bertepuk tangan menyaksikan pertarungan itu. Di punggungnya tergantung tongkat panjang berkepala ular sendok.

"Hebat! Hebat! Sungguh suatu tontonan yang menarik sekali!" Dewi Sambi menghentikan serangan. Ia melompat ke sisi lelaki cebol bertongkat di punggungya itu. "Orang ini mempunyai tingkat kemampuan cukup tinggi, Kakang. Dia mampu menahan pukulan Aji Tapak Wisaku," bisik Dewi Sambi setelah melompat mundur dan menghentikan serangannya. Wanita itu berdiri di samping laki-laki cebol dengan napas memburu. Lelaki cebol itu membenarkan bisikannya. Ia melihat prajurit yang dihadapi Dewi Sambi memang prajurit pinilih.

Ia menilai lelaki tinggi besar berjambang lebat itu sebagai pimpinan rombongan. Si Cebol itu melangkah, tersenyum dingin dan menatap Ranggalawe, "Tuan! Bukankah Tuan adalah pimpinan rombongan prajurit Singasari ini?”

 “Ya. Akulah pemimpin mereka. Aku akan membuktikan, bahwa prajurit Singasari tidak seperti yang dikatakan dua orang anak buahmu itu. Tidak semua prajurit Singasari adalah gentong nasi dan tidak becus bekerja.”

 “Hehehee... tentu saja tidak semuanya. Mereka ini kan hanya bercanda saja, Tuan. Tuan tidak perlu merasa tersinggung.”

 “Bukan begitu caranya bercanda. Kata-katanya sudah tidak bisa digolongkan bercanda.”

 “Baiklah, aku minta maaf atas kelancangan mereka!" ujar laki-laki cebol itu merendah dengan suaranya yang cempreng.

"Tentu saja aku akan memberinya maaf. Tapi bukan berarti mereka bisa pergi begitu saja," tukas lelaki perkasa itu.

"Maksud Tuan?”

 “Kedua orang anak buahmu itu akan kuikat dan kuseret dengan kuda sepanjang perjalananku menuju desa Kurawan. Kemudian mereka akan kubawa ke kota Singasari untuk kuserahkan pada petugas keadilan.”

 “Ahh, kejam sekali. Kurasa hukuman dan perlakuan seperti itu tidak mencerminkan keadilan.”

 “Kalau kau membela mereka, kau akan mendapat hukuman yang serupa.”

 “Hmmmm, bagaimana kalau kita buat semacam taruhan? Mari kita berlaga di atas gelanggang ini. Kalau aku kalah, Tuan boleh membawa dua orangku itu. Tuan boleh berbuat apa saja atas diri mereka. Tapi kalau Tuan ternyata dapat kukalah-kan, Tuan harus membebaskan mereka, dan menganggap mereka tidak bersalah, sekaligus menganggap persoalan ini selesai sampai di sini.”

 “Tantanganmu kuterima. Tapi aku menghendaki taruhan yang lebih besar.”

 “Taruhan apa itu?”

 “Kalau kau kalah, kau dan kawan-kawanmu itu harus mati di tanganku!" Mendengar tantangan yang berat itu, lelaki cebol dan Dewi Sambi saling pandang sejenak dengan dahi beranyam kerutan. Dewi Sambi melangkah dua tindak mendekati lakilaki cebol itu seraya berbisik.

"Kakang Bajil! Orang ini menantangmu perang tanding sampai mati!”

 “Akan kulayani." Setelah berunding dengan Dewi Sambi, lelaki cebol yang dipanggil Bajil itu tersenyum dingin pada Ranggalawe, "Baiklah! Lalu apa yang Tuan pertaruhkan?”

 “Kalau kau dapat mengalahkan aku, maka aku akan meletakkan jabatanku sebagai panglima perang kerajaan Singasari, sebelum kuserahkan nyawaku padamu!" Suasana terasa sangat panas. Merah padam muka lelaki cebol itu. Ia serahkan tongkat dari punggungnya pada perempuan cantik di sisinya. Dewi Sambi pun bergidik menerima tongkat berkepala ular sendok dari Bajil. Bulu romanya terasa tegak berdiri. Demikian pula wajah lelaki tegap itu seperti terbakar. Ia menghela napas sangat dalam hingga dadanya yang bidang semakin mengembang besar menunjukkan keperkasaannya. Prajurit-prajurit Singasari, mereka semua yang berkerumun di halaman rumah penginapan itu, tak seorang pun berani mengeluarkan katakata.

Semua menahan napas melihat kedua orang pendekar pilih tanding yang sekarang sudah siap mengadu nyawa.

Karena begitu tegangnya sampai mereka tidak melihat kehadiran seorang penunggang kuda. Penunggang kuda yang baru datang itu tinggi, gagah, bertubuh tegap perkasa.

Orang itu tidak segera turun dari punggung kudanya. Dia melihat peristiwa di halaman dengan penuh perhatian.

Matanya menatap tajam, sementara tangan kanannya terletak di atas gagang pedang yang besar, yang terselip di pinggangnya.

"Apakah Tuan sudah siap?" suara cebol itu lantang sekali.

"Majulah! Kau akan kutangkap bersama orangorangmu!”

 “Heheheheee... heheheeee...? Hiaaaaaiihhhh! Wuuuussshhh! Haaaaaiiiihhhh" sambil tertawa-tawa latah si cebol itu menyerang lawannya yang tiga kali lebih tinggi dari tubuhnya. Karena serangan-serangannya selalu ditelan udara kosong, mau tak mau ia melompat mundur dengan tawa terkekeh-kekeh dan mengangguk-angguk kagum.

"Babo! Baboo! Tenagamu seperti tenaga dua ekor banteng jantan ditumpuk menjadi satu. Nah, terimalah seranganku yang kedua ini. Hiaaaaiihhh! Huuuuu...

hiaaaaahhhhh!" si cebol itu semakin gencar menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Tetapi ia tidak bisa meremehkan lawannya yang juga memiliki kepandaian tinggi. Laki-laki tegap perkasa itu merasa tidak repot melayaninya. Kembali si cebol melompat mundur dengan mengangguk-angguk mengakui lawan tandingnya.

"Hhhhh! Pantas kau diangkat menjadi panglima perang Singasari. Tidak percuma kau memperoleh jabatan itu. Tapi aku tidak akan berhenti sampai di sini. Sambi! Lemparkan tongkatku!”

 “Terimalah, Kakang!" Dewi Sambi melemparkan tongkat panjang berkepala ular sendok, dan tangan pendek itu begitu gesit menangkapnya. Ia tersenyum penuh rasa bangga. Tangan kanannya mengelus tongkat berkepala ular itu dari ujung sampai pangkal. Tawanya terkekeh cempreng sambil memandang lawannya. Si cebol matanya mendelik bagai terbalik hingga yang tampak warna putihnya saja. Si cebol murka, sambil mendengus keras ia melompat ke belakang sejauh lima batang tombak. Tongkat panjang dengan gagang besi kuningan itu sudah mulai berputar makin lama makin kencang. Rupanya si cebol ingin melanjutkan dua jurus permainannya yang terdahulu, kini ia memainkan tongkat panjang dengan luar biasa. Ia unjukkan kemahiran yang luar biasa bagaimana tongkat panjang di tangannya bekerja.

"Hiaaaaihhh... heeeaaahhhh!" tanpa menunggu lawannya si cebol langsung menyerang dengan dahsyat.

Tongkat panjangnya berputar kencang sekali bagaikan kitiran. Kibasan-kibasannya sangat berbahaya. Ia terus merangsek lawan tandingnya tanpa ampun. Tongkat panjang yang berputar-putar itu semakin dahsyat sekali.

Menyambar kiri kanan, suaranya membuat kecut hati mereka yang berada di pihak lawannya. Tapi lawan tandingnya kelihatan cukup tangguh untuk mengimbangi jurus-jurus maut pendekar dari Gunung Tengger itu. Debu mengepul di halaman rumah penginapan itu, dan suasana pagi yang cerah mendadak diwarnai udara pembunuhan.

Mpu Hanggareksa dan Pranaraja yang menyaksikan pertarungan dari serambi rumah penginapan kelihatan cemas.

"Luar biasa permainan tongkatnya. Hati saya menjadi was-was juga, Tuan Pranaraja.”

 “Jangan cemas, Tuan Hanggareksa. Gusti Ranggalawe bukanlah seorang pendekar sembarangan. Di istana Singasari beliau tergolong pendekar kelas satu. Barangkali hanya Gusti Lembu Sora yang pantas disejajarkan dengan beliau." Hati Mpu Hanggareksa agak tenang mendengar penjelasan Pranaraja, sekalipun masih belum bisa melihat kenyataan pertarungan keduanya. Baru pertama ia lihat ada seorang bertubuh cebol, yang tampaknya bisa diangkat dan dilemparkan ke sana kemari dengan mudah, tapi nyatanya pendekar seperti Ranggalawe bisa dibuat kerepotan. Mpu Hanggareksa dan Pranaraja hanya bisa menyaksikan pertarungan itu dengan menahan napas penuh harap cemas.

Lebih-lebih si cebol terus menyerang junjungannya dengan gencar.

"Haaaaiiiiit! Hiaaatttt! Hiaaaahhhh!" si cebol melenting ke udara undur dari kancah perkelahian. Ia berdiri tepat di sisi Dewi Sambi yang sejak tadi hanya menonton dengan mata melotot.

"Bagaimana, Kakang Bajil?”

 “Panglima perang Singasari ini memang benar-benar tangguh!”

 “Tapi Kakang masih belum dikalahkan bukan? Kakang masih sanggup melawan?”

 “Heheheeee...? Napasku masih panjang. Tenagaku masih mampu untuk bertempur dua hari dua malam. Jangan khawatir, Sambi. Kalaupun aku tidak bisa mengalahkan orang ini, dia pun juga tidak bisa mengalahkan aku." Si cebol itu melangkah dua tindak mendekati lawannya.

"Bagaimana, Tuan? Apakah masih akan kita teruskan tontonan mengasyikkan ini?”

 “Huuuh, Bajil! Aku bukan sedang membuat tontonan di halaman rumah penginapan ini. Aku akan menangkapmu dan orang-orangmu itu.”

 “Heheheh! Rupanya Tuan mempunyai pendirian kokoh seperti sebongkah batu karang. Baiklah! Kalau memang demikian, aku terpaksa menggunakan jurus andalanku.

Sebab kalau hanya dengan cara seperti ini, aku kira kita bisa bertempur sampai besok lusa, dan tak akan ada yang keluar sebagai pemenangnya." Bajil tersenyum pada perempuan cantik itu dan mengulurkan tongkatnya, "Peganglah tongkatku ini, Sambi!" si cebol mengulurkan tongkat berkepala ular sendok itu dengan tangan kirinya.

Dewi Sambi menyambar tongkat Mpu Bajil kemudian melompat mundur. Sementara Mpu Bajil berdiri tegak sambil meletakkan telapak tangannya di atas dada. Itulah pertanda pendekar Gunung Tengger telah bersiap mengeluarkan jurus pamungkas, yang bernama Aji Segara Geni. Si cebol bibirnya mengatup rapat dengan mata sebentar terpejam dan terbuka kembali dengan mendelik. Si cebol itu sambil tetap menyilangkan tangan di depan dada, mulai menyedot napas perlahan-lahan. Mendadak tubuh orang cebol itu bergetar hebat sekali. Rambutnya seperti ikut bergetar. Panglima Singasari itu tahu bahwa musuhnya kali ini benar-benar unjuk gigi, ingin mengadu kekuatan yang paling dalam dengan adu kesaktian. Maka dia pun segera membuat persiapan. Kedua tangannya membuat suatu gerakan melingkar tiga kali, dan akhirnya bersidekap, sementara kedua matanya terus memancar dengan tajam ke arah lawannya.

"Heeeeiiiitt...! Hiaaahhhh! Ajjjii Segarrraa Gennnniiii!" Bersamaan dengan kedua tangan si cebol yang dihempaskan ke depan tepat ke arah dada lawannya terdengarlah ledakan dahsyat karena Aji Segara Geni membentur ajian Zirah Waja yang dikeluarkan Ranggalawe untuk membentengi serangan itu. Dua tenaga dalam yang bertabrakan itu menimbulkan asap tebal hingga membuat para penonton cemas sekali menunggu apa yang akan terjadi pada kedua pendekar tangguh itu.

"Ooooohhhh...?" desah mereka berbareng dengan mata melotot. Sebagian ingin melihat dengan jelas. Ada yang mengucek-ucek matanya dengan punggung tangan, ada yang mendongakkan kepala.

"Gusti! Gusti tidak apa-apa?" Pranaraja menyeruak ke depan dan menghampiri junjungannya. Namun, junjungannya menghela dengan tangan kirinya tanpa berkedip memandang si cebol.

"Minggirlah, Pranaraja!" Pranaraja dengan cepat melompat minggir dari sisi Ranggalawe.

"Heeeeh, Bajil! Kalau kau benar-benar mau mengadu kesaktian dengan Ranggalawe, Ayoooo..., kerahkan seluruh ilmu yang kau miliki! Tapi kau pasti akan binasa di tanganku." Selesai mengucapkan kata-katanya, Ranggalawe segera-menghunus kerisnya yang sudah terkenal ampuh, yang bernama Megalamat. Terdengar suara berdencing mengerikan. Lebih-lebih pamor senjata pusaka itu lambat laun menjalar pada pemiliknya. Setelah menghunus keris Megalamat, mendadak penampilan Ranggalawe berubah.

Wajahnya berapi-api dan seluruh tubuhnya seperti bergetar dengan hebatnya. Sementara keris Megalamat tampak mengeluarkan cahaya kemerah-merahan, yang membuat Mpu Bajil sedikit geragapan. Pada saat itulah orang yang duduk di atas punggung kuda melompat ke tengah gelanggang. Ia berdiri membelakangi panglima perang Singasari, lalu perlahan memutar dan terseyum sangat dingin.Melangkah perlahan menghampiri Ranggalawe!

@@@



TAMAT

TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut (6) TAMAT

Sunday, February 12, 2012

Kata - Kata Mutiara Cinta

Kata - Kata Mutiara Cinta

kata kata cinta,kata kata mutiara,kata motivasi,pidato singkat,berita bola,kata kata gombal,kata kata lucu,cerpen pendidikan,cerpen sedih,tutorial blog,zodiak,ramalan bintang,berita terkini,otomotif,kata selamat ulang tahun,kata selamat hari ibu,kata kata galau


Kata - Kata Mutiara Cinta

- Sahabat permikir cerdas kali ini ada kata- kata mutiara cinta sahabat. Kata mutiara yang bisa sahabat gunakan untuk merayu pasangan sahabat. Banyak kata mutiara yang romantis sahabat sehingga bisa membuat suasana juga terbawa romantis sahabat.Untuk sahabat yang lagi PDK kata mutiara cinta bisa digunakan untuk mendapatkan doi ato pake kata gombal Cinta juga boleh .hihhihihihi. Baiklah sahabat berikut ini kata-kata mutiara cinta sahabat.

"Aku mendengar bisikan angin sampaikan pesanmu padaku. Aku rasakan tetesan embun sebagai lambang kasih sayangmu. Kulihat pelangi hati sebagai gambaran cintamu padaku".

"Kurasakan ketulusan, kejujuran, dan kesetiaanmu padaku. Kini aku menyadari kalau dirimu begitu sangat sayang kepadaku. Tapi semua terasa menjadi tiada indah tanpa dirimu. Kan kujaga semua yang pernah kau berikan padaku, cinta".

"Waktu pertama kali bertemu denganmu, bayanganmu selalu hadir dalam mimpi mimpiku,. Waktu berjalan bersama bayangmu, ingin sekali hatiku selalu dekat denganmu".

"jikalau bunga cinta gugur menyelubungi hatiku yang sepi dan pudar bersama cinta. Tiada hal yang paling terindah selain cinta, cinta yang lahir dari hati yang paling dalam".

"Untuk menjadi sukses, Anda harus memutuskan dengan tepat apa yang Anda inginkan, tuliskan dan kemudian buatlah".

"Cinta terbesar dan cinta hakiki bagi orang yang beriman ialah cinta kepada Allah. Sehingga cinta kepada Allah-lah yang seharusnya menjadi motivator terbesar dan tidak terbatas".

"Sukses yang sudah Anda alami di masa lalu akan membantu untuk memotivasi Anda di masa yang akan datang".

"Memahami orang lain merupakan upaya memahamkan diri sendiri terhadap suatu masalah. bersikukuh terhadap pendapat sendiri adalah bentuk keangkuhan terhadap pemahaman sendiri tersebut. merendahkan sedikit saja hati kepada seseorang, meninggikan derajat diri kepada banyak orang".

"Kecewa bercinta bukan berarti dunia sudah berakhir. Masa depan yang cerah berdasarkan pada masa lalu yang telah dilupakan. Kamu tidak dapat melangkah dengan baik dalam kehidupan kamu sampai kamu melupakan kegagalan kamu dan rasa kekecewaan itu".

Kata Mutiara Cinta

Sayang engkau bukanlah yang terbaik untuku, begitu pula denganku aku bukan yang terbaik untukmu
Engkau adalah wanita yang paling tepat untuk mendampingiku menjadi yang terbaik.

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta

Kita harus sedikit menyerupai satu sama lain
untuk mengerti satu sama lain
Tetapi kita harus sedikit berbeda
Untuk mencintai satu sama lain

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta yang belum matang berkata:
"Aku cinta kamu karena aku butuh kamu"
Cinta yang sudah matang berkata:
"Aku butuh kamu karena aku cinta kamu"

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Jika kita mencintai seseorang
Berusahalan untuk tampil apa adanya
karena Cinta sejati selalu dapat
Menerima Kelebihan dan Kekurangan

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Bahagialah bagi orang yang mengerti akan arti cinta,
Karena Cinta itu akan memberikan warna bagi kehidupannya
_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta yang teramat besar kadang dapat membuat kita
tak bisa mencintai lagi

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Setetes kebencian di dalam hati
Pasti akan membuahkan penderitaan
Tapi setetes cinta di dalam relung hati
akan membuahkan kebahagiaan sejati

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Kalahkan Kemarahan dengan Cinta Kasih
Kalahkan Kejahatan dengan Kebajikan
Kalahkan kekikiran dengan Kemurahan Hati
Kalahkan Kesombongan dengan Kejujuran

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Nafsu hanya akan memberikan kebahagiaan sesaat
tapi cinta yang tulus dan sejati akan memberikan
kebahagiaan selamanya

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Luruhnya hati bukanlah suatu dosa, Maka Jangan Pernah
Takut untuk Jatuh Cinta

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta Tak Harus Saling Memiliki
Kadang Kala Mereka Harus Melepaskan Cinta Tersebut
Karena Cinta yang Sejati Selalu Ingin Membahagiakan
Orang Yang dicintai

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta itu seperti art yg indah dan agung,
berbahagialah yg pernah mendapatkannya meskipun tidak abadi

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta tidak membuat dunia berputar
Cinta inilah yang membuat perjalanan tersebut berharga

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta tidak berupa tatapan satu sama lain,
tetapi memandang ke luar bersama ke arah yang sama.

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Bel bukanlah bel sebelum engkau membunyikannya
Lagu bukanlah lagu sebelum engkau menyanyikannya
Cinta di dalam hatimu tidak diletakkan untuk tinggal di sana

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta bukanlah cinta sebelum engkau memberikannya
Nafsu adalah emosi
Cinta adalah pilihan
Cara untuk mencintai sesuatu adalah dengan menyadari
Bahwa sesuatu itu mungkin hilang

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta adalah kunci induk yang membuka Gerbang kebahagiaan
Kekasih yang bijaksana tidak menghargai hadiah dari kekasihnya
Sebesar cinta dari si pemberi

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Jika anda ingin dicinta, mencintalah
dan jadilah orang yang pantas dicinta

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Di antara mereka yang saya sukai atau kagumi,
saya tidak dapat menemukan suatu kesamaan
Tetapi di antara mereka yang saya kasihi,
saya dapat menemukannya: mereka semua membuat saya tertawa

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta Persahabatan
Persahabatan sering berakhir dengan cinta
Tetapi cinta kadang berakhir BUKAN dengan persahabatan

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Kita harus sedikit menyerupai satu sama lain
untuk mengerti satu sama lain
Tetapi kita harus sedikit berbeda
Untuk mencintai satu sama lain

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Cinta yang belum matang berkata:
"Aku cinta kamu karena aku butuh kamu"
Cinta yang sudah matang berkata:
"Aku butuh kamu karena aku cinta kamu"

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta Romantis
Cinta memasukkan kesenangan dalam kebersamaan
kesedihan dalam perpisahan harapan pada hari esok kegembiraan di dalam hati

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Siapa pun yang mempunyai hati penuh cinta selalu mempunyai sesuatu untuk diberikan
Cinta sejati dimulai ketika tidak sesuatu pun diharapkan sebagai balasan

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta Untuk Kekasih
Segera sesudah kita belajar mencinta
Kita akan belajar untuk hidup

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta Untuk Kekasih
Cinta...
Jika anda memilikinya, anda tidak memerlukan sesuatu pun yang lain
Dan jika anda tidak memilikinya,apa pun yang lain yang anda miliki tidak banyak berarti

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta Untuk Pacar
Cinta tidak dapat dipaksakan
Cinta tidak dapat dibujuk dan digoda
Cinta muncul dari Surga tanpa topeng dan tanpa dicari

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Putus Cinta
Cobalah bernalar tentang cinta dan engkau pun
akan kehilangan nalarmu
terakhir kata pak patkai
"beginilah cinta, penderitaan tiada berakhir"

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta bahasa inggris
Love is about you not me
love is about give not ask
love is about happy never be sorrow
________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta English
If you feel lonely be believe
i with you always

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta
Kita lahir hanya dengan 1 hati jauh di dalam diri kita. Mengingatkan kita pada penghargaan dan pemberian cinta diharapkan berasal dari hati kita yang paling dalam. Belajar untuk mencintai dan menikmati betapa kita dicintai tapi jangan pernah mengharapkan orang lain untuk mencintai kita seperti kita mencintai dia.

_________________________________________________________________________________
Kata Mutiara Cinta

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

Cinta pertama adalah kenangan, Cinta kedua adalah pelajaran, dan cinta yang seterusnya adalah satu keperluan karena hidup tanpa cinta bagaikan masakan tanpa garam. Karena itu jagalah cinta yang dianugerahkan itu sebaik-baiknya agar ia terus mekar dan wangi sepanjang musim.

Kecewa bercinta bukan berarti dunia sudah berakhir. Masa depan yang cerah berdasarkan pada masa lalu yang telah dilupakan. Kamu tidak dapat melangkah dengan baik dalam kehidupan kamu sampai kamu melupakan kegagalan kamu dan rasa kekecewaan itu.

Hanya diperlukan waktu semenit untuk menafsir seseorang, sejam untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang, tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.

Hidup tanpa cinta sepeeti makanan tanpa garam. Oleh karena itu, kejarlah cinta seperti kau mengejar waktu dan apabila kau sudah mendapat cinta itu, jagalah ia seperti kau menjaga dirimu. Sesungguhnya cinta itu karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Cintailah orang yang engkau kasihi itu sekedranya, mungkin saja dia akan menjadi orang yang kau benci pada suatu hari kelak. Juga bencilah terhadap orang yang kamu benci itu sekedarnya, barangkali dia akan menjadi orang yang engkau kasihi pada suatu hari nanti.

Janganlah kau tangisi perpisahan dan kegagalan bercinta, karena pada hakikatnya jodoh itu bukan ditangan manusia. Atas kasih sayang Tuhan kau dan dia bertemu, dan atas limpahan kasih-Nya jua kau dan dia dipisahkan bersama hikmah yang tersembunyi. Pernahkan kau berfikir kebesaran-Nya itu?

Cinta itu tidak menjanjikan sebuah rumah tangga aman damai, tetapi penerimaan dan tanggung jawab adalah asas utama kebahagiaan rumah tangga. Cinta hanya sebuah keindahan perasaan, cinta akan bertukar menjadi tanggung jawab apabila terbinanya sebuah rumah tangga.

Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu, jangan mengharapkan balasan cinta, tunggulah sampai cinta berkembang dihatinya, tetapi jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh dihatimu.

Cinta bukanlah dari kata-kata, tetapi dari segumpal keinginan diberi pada hati yang memerlukan.
Cinta lebih mudah mekar dihati yang sedang dilanda kecewa, cinta seperti ini adalah cinta yang mengharapkan belas kasihan, oleh karena itu, bila sepi telah punah maka biasanya cinta juga akan turut terbang.

Cinta yang dikaitkan dengan kepentingan pribadi akan berubah menjadi putus asa.
Dalam sebuah percintaan, janganlah kamu sesali perpisahan tetapi sesalilah pertemuan. Karena tanpa pertemuan tidak akan ada perpisahan. Menikahlah dengan orang yang lebih mencintai diri kita daripada kita mencintai diri orang itu. Itu lebih baik daripada menikahi orang yang kita cintai tetapi tidak menyintai diri kita karena adalah lebih mudah mengubah pendirian diri sendiri daripada mengubah pendirian orang lain.
Cinta yang suci dapat dilihat dari pengorbanan seseorang, bukanlah dari pemberian semata.

Ibaratkalah kehilangan cinta itu seumpama hilangnya cincin permata di lautan luas yang tiada bertepi dan harus dilupakan.

Cinta tidak selalu bersama jodoh, tapi jodoh selalu bersama cinta.
Kata pujangga; Cinta letaknya di hati, meskipun tersembunyi, namun getarannya jelas sekali. Ia mampu mempengaruhi fikiran sekaligus mengendalikan tindakan kita sehingga kadangkala kita melakukan hal terbodoh tanpa kita sadari.

Cinta dimulai dengan senyuman, tuumbuh dengan dekapan dan seringkali berakhir dengan air mata.
Mencintai adalah masalah yang penting bagi manusia Bila kita mampu mengurai cinta, Maka hakekat cinta akan berubah menjadi sesuatu Itulah kenyataan cinta…

Memperlihatkan cinta adalah suatu kepicikan Dibanding sesuatu yang agung, yang tersembunyi dibalik cinta Cinta memang tidak mudah untuk dimengerti…

Seseorang selalu membutuhkan orang lain Untuk membantu memahami bagian dari diri kita. Untuk menyingkap bagian yang tersembunyi dari diri mereka. Dan untuk percaya dan memahami bagian yang terbaik dari mereka

Ketika kita membantu orang lain. Kita tidak boleh menyembunyikan apa yang kita ketahui tentangnya Kita tidak boleh hanya menjadi telinga bagi mereka.

Ketika tangan kehidupan terasa gelap dan malam tak bernyanyi Itu adalah waktu untuk cinta dan kepercayaan Dan tangan kehidupan akan bersinar dan bernyanyi Bila seseorang mencintai dan mempercayai seutuhnya.

Kasih… kekuatan apakah yang menggerakkanku dalam badai Mengapa aku menjadi lebih baik dan lebih kuat Serta lebih yakin pada kehidupan saat badai menerjang Aku tak mengerti dan sekarang aku menjadi lebih mencintai dirimu Dari apapun yang ada di alam ini.

Sejak pertama kulihat engkau, Hal yang paling mendalam yang kurasakan adalah Kejujuran, kecerdasan dan kehangatan dirimu. Kini, pun sama hanya seribu kali lebih dalam dan lebih lembut.



Kata - Kata Mutiara Cinta

Tutur Tinular4 -Lembah Berkabut Season 1

Tutur Tinular4 -Lembah Berkabut Season 1



Tutur Tinular4 -Lembah Berkabut Season 1

- Sahabat Pemikir Cerdas kali ini kita akan menyantap cerita legenda Tutur Tinular4 sahabat. Maaf ya sahabat ini kita mulai dari Tutur tinular4 sahabat.  dikarekan baru dapat yang ini,nanti jika sudah dapat Tutur tinular 1 kita post buat sahabat. Ok sahabat selamat menyantap hihihih.
PENULIS:
Buanergis Muryono & S. Tidjab



Lembah Berkabut

Hati dan pikiran yang bening seumpama petualang menemukan secercah cahaya setelah sekian lama terkurung dalam lembah berkabut.



@@@
1
Sementara itu, Wirot yang berada di bawah bersama Mpu Ranubhaya melihat tubuh Arya Kamandanu melayang ke bawah.

Wirot cemas dan panik sekali, hingga ia berteriak histeris, "Ohh, Guru... lihat Angger Kamandanu!”

 “Diamlah,Wirot! Jangan bersuara apa-apa.”

 “Tapi, Guru.”

 “Diam kataku!" suara Mpu Ranubhaya berat dan sangat dalam tanpa memandang muridnya yang sangat cemas melihat Arya Kamandanu melayang, meluncur dari pucuk bambu petung. Meluncur makin lama makin deras dan membuat Wirot menutup kedua mata dengan kedua tangannya.

Suasana malam kian mencekam, suara jeng-kerik, kelelawar dan serangga malam terdengar merintih-rintih meningkahi lolongan anjing liar dan burung hantu yang terus bersahut-sahutan.

Beberapa saat lamanya lelaki tua itu tetap berdiri pada tempatnya sambil memperhatikan Arya Kamandanu.

Wirot ternganga keheranan ketika kedua tangannya dia buka dan melihat tubuh Arya Kamandanu melayang ringan ke bawah. Terasa lama tubuh itu mencapai tanah yang banyak ditumbuhi tanaman liar. Wirot tidak berani berbuat apa-apa karena gurunya masih berdiri tenang di sampingnya. Karena terlalu lama Mpu Ranubhaya membiarkan tubuh Arya Kamandanu akhirnya jejaka tua itu berpaling pada gurunya.

"Ohh, Guru! Angger Kamandanu tidak apa-apa. Ya, tidak apa-apa? Tubuhnya masih utuh.”

 “Tentu saja tidak apa-apa, Wirot. Kau tentu heran bukan? Mari kita tolong Kamandanu keluar dari semak belukar itu, dan nanti semuanya akan kujelaskan pada kalian." Kemudian kedua lelaki itu menghampiri tubuh Arya Kamandanu yang tergeletak di semak-semak liar.

Arya Kamandanu masih dalam keadaan tak sadarkan diri.

Wirot yang lebih muda memegang bagian dada dan leher, sedangkan Mpu Ranubhaya menopang kedua paha Arya Kamandanu. Mereka menggotong tubuh pemuda itu ke daam gua. Napas mereka terengah-engah mengangkat beban tubuh Arya Kamandanu yang cukup berat. Keringat bercucuran di pelipis kedua lelaki itu. Setelah sampai di dalam gua, tubuh pemuda itu dibaringkan di atas lempengan batu yang senantiasa dipergunakan untuk semadiMpu Ranubhaya.

Wirot mengusap keringat yang mengembun di hidung dan dahinya.

Mpu Ranubhaya tersenyum memandang sekilas pada Wirot yang masih kelihatan heran.

Sejenak mereka saling berpandangan di bawah penerangan pelita minyak jarak yang tergantung di sisi dinding gua. Cahaya itu sesekali berkedip-kedip ditiup angin yang masuk dari mulut gua.

Kelelawar-kelelawar juga saling menjerit setiap kali terbang berpasangan dengan sesamanya. Suaranya menggema di dalam gua meningkahi tetes-tetes air yang selalu jatuh dari langit-langit gua.

Wirot melangkah mendekati Arya Kamandanu ketika ia melihat pemuda itu perlahan membuka matanya dan perlahan-lahan menggerakkan kedua tangannya, mengusap kedua matanya dengan punggung tangan kanannya seperti seorang yang baru saja bangun tidur. Wirot berjongkok dan berbisik pada pemuda itu tanpa menghiraukan gurunya yang duduk bersila di samping kanan tempat Arya Kamandanu berbaring.

"Jadi, Angger Kamandanu tidak sadar begitu melayang dari atas pucuk bambu?" Arya Kamandanu tidak segera menjawab pertanyaan Wirot. Ia hanya tersenyum sambil membetulkan posisi duduknya, bertopang pada kedua tangannya dan condong ke belakang. Ia mendesah, mengembuskan napas dengan menggelembungkan pipinya. Matanya yang bersinar cemerlang itu mengerjap-ngerjap. Alisnya tebal menaungi bola matanya. Dalam sekali ia menghela napas serta menyimpannya di perut. Mendesah lirih sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Wirot.

"Boleh dikatakan setengah sadar, Paman Wirot. Antara sadar dan tidak. Saya sudah pasrah. Sudah masa bodoh," jawab pemuda itu tenang dan sangat dalam. Hal itu membuat Mpu Ranubhaya yang duduk setengah tombak di samping kanan Arya Kamandanu harus menjelaskan tentang ajian Seipi Angin kepada mereka.

Lelaki tua itu memperhatikan kedua muridnya sebelum akhirnya membuka bibirnya yang hitam dan mengeriput.

"Di situlah letak rahasianya. Antara sadar dan tidak, dalam bahasa orang-orang tua disebut lali eling pewatesane. Nah, dalam keadaan seperti itu tubuh manusia akan kehilangan bobotnya. Semakin orang itu menguasai ilmu Seipi Angin ini, semakin banyak kehilangan bobot tubuhnya. Maka tidak heran kalau ada orang berilmu tinggi mampu menyeberangi sungai atau pun masuk dalam kobaran api, tanpa sedikit pun mempengaruhi keadaan tubuhnya. Apa yang telah dialami Kamandanu merupakan bukti nyata dari apa yang telah kuajarkan ini.”

 “Nah, apakah sekarang kau masih meragukannya, Wirot?" Wirot menjadi sedikit gugup dan menunduk ketika gurunya memandangnya sambil tersenyum dingin.

"Ehh, tidak, Guru. Sekarang saya baru benar-benar meyakininya," jawabnya dengan nada diyakin-yakinkan hingga terdengar dibuat-buat. Kembali Mpu Ranubhaya memandang kedua muridnya berganti-ganti. Lelaki tua itu selalu tersenyum dan sesekali mengangguk-angguk sebelum akhirnya melanjutkan kembali penjelasannya.

"Di dalam dunia kependekaran, ilmu meringankan tubuh seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh lagi. Setiap calon pendekar yang ingin menempuh pelajaran kanuragan tingkat tinggi, mau tidak mau harus melewati tahap ini.”

 “Apakah tidak ada cara lain selain tidur di,atas pohon bambu, Paman?" tanya Arya Kamandanu lirih.

"Ada. Tapi cara ini membutuhkan waktu yang agak lama. Wirot bisa menggunakan cara ini, karena hati dan kepercayaannya masih setengah-setengah." Lelaki tua itu kemudian bangkit, melangkah beberapa tindak ke sudut gua, meraih sebutir kelapa yang ada di dekatnya, kembali duduk di tempat semula, lalu menimang buah kelapa itu dan mengayun-ayunkan dengan tangan kanannya.

"Lihat, apa yang ada di tanganku ini?" tanyanya pada kedua muridnya.

"Buah kelapa, Paman," jawab Arya Kamandanu mantap.

"Ya. Buah kelapa. Kau bisa mengganti alas tidurmu dengan buah kelapa,Wirot.”

 “Ehh, maksud Guru?”

 “Begini, ambillah buah kelapa seperti ini tujuh biji.

Kemudian letakkan berjajar di tanah dan pergunakanlah untuk alas tidurmu setiap malam.”

 “Setiap malam? Sampai kapan, Guru?" tanyaWirot.

"Sampai kau mengalami suatu keadaan seperti yang telah dialami Kamandanu baru saja tadi. Suatu keadaan antara sadar dan tidak.”

 “Hmm, baiklah. Saya akan mulai mencobanya, Guru," jawabWirot dengan bersemangat. Kedua tangannya terjalin dan meremas-remas. Ia benar-benar tergugah untuk mengikuti petunjuk gurunya. Sementara Arya Kamandanu turut senang mendengar pernyataan Wirot. Kemudian ia ingin mengerti apa yang harus dilakukannya setelah berhasil menjalani ujian tidur di pucuk bambu petung.

Pemuda itu bersungguh-sungguh.

"Lalu bagaimana dengan saya, Paman?”

 “Kau boleh meneruskan berlatih tidur di atas pucuk bambu. Cara seperti ini cocok untukmu. Kau mempunyai keberanian dan tekad yang besar. Cara seperti yang dipakai Wirot boleh juga kau gunakan, sekedar untuk melatih pintu kesadaranmu.”

 “Baik, Paman. Saya akan mengerjakan semua petunjuk Paman Ranubhaya." Sejak saat itu, setelah keduanya mendapat petunjukMpu Ranubhaya maka Wirot dan Arya Kamandanu semakin bersungguh-sungguh mempelajari olah kanuragan. Tak ada sedikit pun waktu dibiarkan percuma. Mereka berlatih sangat keras hingga jauh malam. Bahkan karena terlalu asyik dengan latihan-latihan itu keduanya semakin akrab dengan suasana malam di sekitar gua batu payung yang telah lama dipergunakan Mpu Ranubhaya sebagai sanggar pamujan pribadinya.

Memang benar apa yang dikatakan Mpu Ranubhaya.

Arya Kamandanu diam-diam ternyata mempunyai bakat besar untuk mendalami ilmu kanuragan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, hanya empat belas hari dia mengalami kemajuan yang amat pesat dibandingWirot. Suatu malam, ketika baru saja kembali dari gua di mana biasanya berlatih dengan Mpu Ranubhaya, Arya Kamandanu berjalan mengendap-endap mendekati jendela kamarnya. Selama ini memang dia selalu pergi diam-diam dari rumahnya, dan tak seorang pun mengetahuinya. Pada saat kakinya menapak di atas batu-batuan halaman rumahnya, mendadak telinganya mendengar suara ayahnya membentak dari arah serambi depan.

"Haaaaiii... siapa itu? Awas, jangan lariiii...!" Mpu Hanggareksa dengan cepat melompat dan berusaha mengejar bayangan seseorang yang melintas di pekarangan rumahnya. Setiap saat langkahnya terhenti. Pandangannya menyapu ke dalam kegelapan. Dahinya beranyam kerutan, matanya melotot dan lehernya terjulur seperti leher penyu yang mencari mangsa.

Sebaliknya, Arya Kamandanu masih berjingkat-jingkat dan merunduk di antara semak dan bunga ganyong di samping rumahnya. Sejenak lamanya ia merunduk dengan hati berdebar-debar. Denyut jantungnya semakin menggemuruh karena khawatir ayahnya mengetahuinya.

Lehernya menjulur seperti leher seekor ular yang melongok di antara rumpun ganyong dan kelerut. Ketika ia melihat ayahnya semakin mendekati tempat persembunyiannya ia semakin merunduk tanpa bergerak sambil menahan napas.

Mengetahui Mpu Hanggareksa terus memburu bayangannya, Arya Kamandanu ingin menghilangkan jejak. Ia tak ingin ayahnya marah sekali jika mendapatkannya.

"Aku harus bersembunyi di atas pohon Itu. Huuupph..." pemuda itu sekarang bertengger di atas pohon sawo seperti seekor kera. Ia beruntung karena dengan ajian Seipi Angin dapat mencapai dahan pohon sawo tanpa menimbulkan suara berisik.

Mpu Hanggareksa sang ayah masih celingukan. menoleh ke kanan dan ke kiri, berbalik ke belakang dan menyamping. Kemudian lelaki tua itu melangkah kembali dengan pandangan tajam. Beberapa kali ia mendengus dan menghempaskan napas kesal. Ia kehilangan jejak.

Sementara Arya Kamandanu enak-enak duduk di dahan pohon sawo, tetapi pemuda itu kembali cemas dan berdebar-debar ketika ayahnya semakin mendekati pohon sawo tempat persembunyiannya. Arya Kamandanu menahan napas, menggigit bibir sambil memanjatkan doa agar ayahnya tidak menengok ke atas. Mpu Hanggareksa berhenti tepat di bawah pohon sawo cukup lama sambil mengawasi segala arah.

"Kurang ajar! Mau apa orang itu datang ke rumahku? Pasti pencuri barang-barang pusaka. Dan agaknya maling itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang lumayan.

Kalau hanya orang biasa-biasa saja pasti sudah kuringkus batang hidungnya. Huuuhhh!" Kesal sekali lelaki tua itu karena benar-benar kehilangan jejak.

Dengan menghentakkan kaki kanannya ia kembali ke halaman depan rumah. Sebilah pedang yang terselip di pinggangnya masih digenggam erat-erat gagangnya.

Melihat kesempatan bagus itu Arya kamandanu segera melesat dari atas pohon menuju samping rumah tepat di dekat kamarnya. Cepat sekali ia membuka jendela dan melompat ke kamarnya Perlahan sekali daun jendela itu ditutup seperti semula tanpa menimbulkan suara. Dengan berjingkat ia menuju pembaringannya dan segera meringkuk di bawah selimut.

"Nah, aman sekarang. Untung aku bisa tiba lebih cepat di kamarku. Kalau tidak, pasti Ayah akan tahu apa yang kulakukan selama ini setiap malam. Dia pasti akan marah sekali. Apalagi kalau ayah tahu bahwa aku belajar kanuragan dari Paman Ranubhaya." Begitu ia mendengar suara langkah menuju kamarnya, Arya Kamandanu berpura-pura tidur. Dengan menahan geli pemuda itu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Bahkan napasnya diatur sehalus mungkin agar tidak mendengkur.

Di luar kamarnya ia mendengarkan langkah-langkah semakin dekat. Bahkan pintu kamarnya diketuk-ketuk seseorang dari luar. Ketukan pintu menggema di seluruh kamarnya. Pengetuk pintu kamarnya terdengar memanggilmanggil namanya, lirih dan hati-hati sekali. Suara itu berat dan dalam.

"Kamandanu! Buka pintunya! Buka pintu, Kamandanu!" Arya Kamandanu pura-pura menguap, bangkit perlahan sambil tetap berkerudung selimut yang semampir di pundaknya. Pemuda itu melangkah menuju pintu kamarnya dan membukanya perlahan. Kancing pintu yang terbuat dari dolog, yaitu kayu jati muda sebesar lengan sepanjang dua jengkal yang dihaluskan terlebih dahulu itu diangkat dan diletakkan di balik daun pintu.

Arya Kamandanu mengerutkan dahinya setelah melihat ayahnya dengan pandangan serius.

"Kamandanu, kau tidak mendengar suara apa-apa?”

 “Ehh, tidak, Ayah.”

 “Baru saja tadi ada suara ribut dan kau tidak mendengarnya?”

 “Ehh, tidak, Ayah. Saya tidur pulas sekali.”

 “Huuhh! Kau sudah menjadi penidur sekarang. Kalau ada suara gempa bumi apa kau juga tidak mau bangun?”

 “Saya, saya lelah, Ayah. Karena itu saya tidur pulas.

Ehh, memang ada apa, Ayah?”

 “Ada orang mengintip kamarmu.Mungkin dia pencuri!”

 “Pencuri? Kalau begitu mari kita tangkap, Ayah.”

 “Jangan bodoh! Pencuri itu sudah tak ada di sini lagi.

Dia sudah kabur.”

 “Kita bisa mengejarnya, Ayah. Mungkin dia belum lari jauh dari rumah kita ini.”

 “Sudahlah. Baru saja kau bangun tidur, bagaimana mau mengejar pencuri? Lagi pula pencuri itu bukan pencuri sembarangan. Dia agaknya menguasai ilmu meringankan tubuh yang cukup baik. Nah, sudahlah? Mulai sekarang kita harus hati-hati. Mungkin ada orang-orang yang mengincar benda-benda pusaka yang kita miliki. Kalau tidur jangan lupa menutup jendela dan mengunci pintu kamarmu “

 “Baik, Ayah.”

 “Nah, teruskan tidurmu." Mpu Hanggareksa pun meninggalkan putra bungsunya dengan hati kesal. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres setelah menjadi ahli senjata Singasari. Dalam hati kecilnya berkecamuk perasaan curiga pada saudara seperguruannya yang selama ini menentang kehendaknya mengabdi pada pemerintahan Singasari. Tak sabar dengan perasaan hatinya yang sangat kesal dan resah maka lelaki tua itu segera bersidekap, memejamkan mata. Semakin lama ia rasakan pusarnya dingin sekali. Rasa dingin itu segera menyebar ke seluruh jaringan darah. Kemudian ia rasakan tubuhnya menjadi ringan sekali. Itulah ajian Seipi Angin.

Malam itu juga ia berangkat ke gua batu payung tempat saudara seperguruannya tinggal. Dengan ajian Seipi Angin itu Mpu Hanggareksa segera melompat dan melesat lenyap ditelan kegelapan malam.

Lelaki tua itu akhirnya sampai di depan mulut gua batu payung yang tampak angker. Mulut gua itu menganga bagaikan mulut naga yang memamerkan taring-taringnya.

Tanpa ragu-ragu Mpu Hanggareksa memasuki mulut gua yang berhias stalagtit dan stalagnit. Ia merunduk dan hatihati melangkahkan kakinya pada dasar gua yang licin.

Tetes-tetes air dari langit-langit gua semakin jelas menggema. Mata kelelawar yang bergelantungan di langitlangit gua tampak berpijar, menyala seperti batu permata.

Dalam gua yang sangat gelap itu hanya berpenerangan pelita yang tergantung di sisi dinding gua.

Mpu Hanggareksa melihat saudara seperguruannya duduk bersila sambil menggores-goreskan patrem pada sebuah lempengan batu pipih. Lelaki tua berpakaian compang-camping itu seolah-olah tidak tahu kehadiran seseorang yang sudah berada di sampingnya. Bahkan berjalan dan melangkah di depannya. Mpu Hanggareksa bersabar menunggu kakak seperguruannya tetap sibuk.

Namun setelah beberapa saat lamanya ia dibiarkan seperti itu maka pertentangan batinnya tak mampu dikendalikan lagi.

"Kakang Ranubhaya! Aku mengenal desa Kurawan ini seperti aku mengenal jari-jari tanganku sendiri. Aku tahu, tak seorang pun orang desa ini yang mempunyai ilmu meringankan tubuh kecuali kita berdua." Mendengar kata-kata adik seperguruannya mau tidak mau Mpu Ranubhaya menghentikan pekerjaannya. Ia pandang adik seperguruannya dengan mata berpijar.

"Jadi, kau mencurigai aku, Hanggareksa?" suara itu terdengar parau, serak berat. Hati lelaki tua itu sungguh tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Adik seperguruannya datang dengan prasangka buruk.

"Aku hanya sekadar ingin tahu saja. Kalau memang Kakang Ranubhaya, aku ingin tahu apa maksudmu mengunjungi rumahku di tengah malam buta?”

 “Aku memang tidak mempunyai alasan untuk berkunjung ke rumahmu. Aku sendiri sibuk. Banyak yang harus kukerjakan “

 “Kalau begitu baiklah! Maafkan aku. Mungkin orang dari desa yang jauh.”

 “Hanggareksa! Sekarang ini kau sudah menjadi orang kaya dan ternama. Kukira wajar kalau ada satu dua orang bermaksud singgah di rumahmu tatkala kau sedang tidur.

Ini yang perlu kau ingat.”


 “Terima kasih atas peringatanmu." Untuk kesekian kali Mpu Hanggareksa kecewa karena tidak tahu siapa yang datang ke rumahnya malam itu.

Ia segera pamit pada Mpu Ranubhaya yang memandangnya dengan tatapan dingin. Mpu Ranubhaya menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang punggungMpu Hanggareksa yang semakin lenyap di dalam gelap lorong gua itu. "Alangkah piciknya seseorang yang telah mabuk harta benda, mabuk kehormatan dan mabuk keinginan inderawi," bisik hatinya menyesali sikap dan sifat adik seperguruannya yang kini benar-benar berubah.

@@@

Tutur Tinular4 -Lembah Berkabut Season 1


BERSAMBUNG

Thursday, February 9, 2012

Tutur Tinular 4 - Lembah Berkabut Season 5

Tutur Tinular 4 - Lembah Berkabut Season 5


TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut (5)



Oke sahabat ini dia sambungan

TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut (4)

sahabat. maaf ya sahabat lama untuk post kelanjutan ceritanya sahabat. baiklah sahabat silakan melanjutkan.Selamat membaca sahabat.

Sementara itu, di rumah Mpu Hanggareksa, di ruangan pembuatan senjata, lelaki tua itu menimang-nimang sebuah senjata pusaka. Menyunggingkan senyuman di bibirnya yang mulai mengeriput. Kemudian penuh dengan perasaan ia memegang gagang pusaka itu serta mencabutnya perlahan-lahan. Suara berdencing mengiringi senjata itu ketika keluar dari wrangkanya.

"Hhhh! Bagaimanapun juga senjata pusaka buatanku masih di bawah tingkatan Kakang Ranubhaya.

Bagaimanapun juga dia lebih ahli. Dan inilah yang membuatku tidak senang. Suatu ketika Kakang Ranubhaya bisa menjadi batu sandungan di tengah jalan. Huuuuhh! Orang tua itu sangat kokoh pendiriannya. Sudah berapa kali kucoba untuk menariknya kerja sama, dia tetap tidak bersedia. Kurang ajar! Dia merasa lebih pintar. Merasa lebih hebat, tapi aku tidak akan kehabisan cara. Kalau dengan cara yang halus tidak berhasil, aku bisa menggunakan cara yang lebih kasar. Bahkan aku bisa menggunakan cara yang paling kasar!" Mpu Hanggareksa berbicara sendiri sambil mengusap-usap senjata pusaka di tangannya. Belum lagi memasukkan senjata itu ke dalam wrangkanya ia dikejutkan oleh suara pintu yang berderit panjang sekalipun perlahan-lahan.

Lelaki itu segera memasukkan senjata pusaka ke dalam wrangkanya dan melangkah ke arah pintu sambil mengerutkan dahinya. Ia melihat jemari menyengkeram daun pintu dari luar. Lagi-lagi ia tersenyum sendiri, "Kaukah itu, Kamandanu?”

 “Ya, Ayah.'.' "Bagaimana? Sudah kau antar kakakmu sampai Manguntur?”

 “Sudah, Ayah.”

 “Bagus. Sekarang kau istirahat, dan besok kau harus menjaga rumah bersama Nyi Rongkot. Aku mau pergi barang dua tiga hari.”

 “Ke mana, Ayah?”

 “Ke Singasari." Arya Kamandanu dapat meraba ada yang terjadi di balik wajah ayahnya. Tidak seperti hari-hari biasanya, tampak sekali ayahnya tengah mempunyai persoalan yang berat.

Tapi Arya Kamandanu tidak berani menanyakan pada ayahnya.

Arya Kamandanu melihat kabut persoalan mengambang di permukaan wajah ayahnya, orang tuanya berbicara tidak seperti biasanya. Memandangnya sangat tajam dengan sekali-kali menghela napas tertahan. Berat dan sesak.

?Selama aku pergi kau harus lebih berhati-hati. Terutama sekali kau harus menjaga dan mengawasi tempat menyimpan senjata pesanan.”

 “Baik, Ayah. Saya tidak akan kemana-mana.”

 “Kamandanu, sekarang kakakmu sudah hidup sendiri bersama istrinya. Tinggal kau yang kuharapkan bisa membantu usahaku ini," kembali Mpu Hanggareksa menghela napas dalam sekali. Ia pandangi putra bungsunya penuh kelembutan dan kasih sayang. Hatinya terenyuh, terharu karena alis mata dan bibir putra bungsunya itu persis seperti ibunya. Seperti isterinya yang telah lama meninggalkannya.

Kepedihan menyuruk-nyuruk dan mengiris hatinya.

"Kulihat kau sudah mengantuk dan lelah sekali.

Tidurlah! Biarkan aku sendiri di ruangan ini.”

 “Ya, Ayah." Belum lama Arya Kamandanu berada dalam kamarnya sendiri, ia dengar ringkikan panjang kuda ayahnya.

Kemudian terdengar juga derap kakinya yang dipacu semakin menjauh. Ia menghela napas dan menghempaskannya kuat-kuat.

Dahinya beranyam kerutan kemudian menggigit bibirnya sendiri sambil melangkah beberapa tindak sambil memeriksa jendelanya.

"Aku mendengar suara kuda Ayah. Ke mana dia pergi malam-malam begini? Ahhh, pasti ada hubungannya dengan rencana ke Singasari besok. Kasihan ayah, akhirakhir ini dia tampak semakin tua. Aku harus mendampinginya dan membesarkan hatinya." Arya Kamandanu menyorongkan kancing jendelanya agar lebih kencang lagi. Bersandar sejenak pada dinding papan kamarnya, memperhatikan tempatnya berbaring yang kusut. Pada ujung tikarnya sudah robek dan putusputus.

Bahkan pada tepi-tepinya tampak jamuran karena terlambat tak dijemur. Ia tersenyum, karena tikar itu buatan buah tangan Nari Ratih. Tikar tanda persahabatan pertama ia mengenal gadis yang merebut seluruh hatinya. Ia perhatikan pakaiannya yang kotor tergantung di ujung kamar. Ia hirup udara kamarnya yang apek dan kurang sedap karena lama tak dibereskan dan dibersihkan. Kembali lagi ia melangkah mondar-mandir seperti orang bingung, tak tahu apa sebetulnya yang mengganjal di hatinya.

Karena tak bisa tidur lagi, Arya Kamandanu beranjak meninggalkan kamarnya. Sebentar kemudian dia sudah berada di ambang pintu ruang kerja ayahnya Terdengar pintu ruang kerja itu dibukanya perlahan menimbulkan derit panjang memecah kesunyian malam. Beberapa saat lamanya ia berdiri di ambang pintu, kemudian menutup pintu itu kembali seperti sedia kala. Ia berdiri sejenak menyandarkan punggungnya di balik daun pintu yang sangat tabal itu. Rongga dadanya dipenuhi oleh bau logam karatan, bau apek dan warangan cairan pembasuh senjata yang menyengat. Ia nyengir dan memoncongkan bibirnya seraya melangkah seenaknya.

"Ahh! Selama berpuluh surya Ayah terbenam di ruangan ini. Usianya habis untuk membuat senjata-senjata pusaka pesanan pemerintah Singasari. Ayah memang pekerja yang ulet. Dia tekun dan selalu bersungguh-sungguh. Tapi tampaknya dia tidak begitu cocok dengan Paman Ranubhaya." Arya Kamandanu mengerutkan dahi memperhatikan ada selembar daun tal? Ia makin memperhatikan selembar rontal itu ketika melihat goresangoresan di atasnya ada tulisan ayahnya.

Arya Kamandanu membungkuk dan membaca tulisan yang tertera pada potongan-potongan rontal di tempat kerja ayahnya. Lalu ia membacanya dengan saksama, "Ampun Sri Baginda! Hamba mohon Sri Baginda sudi membaca laporan hamba, dan selanjutnya mengambil tindakan yang tegas demi tegaknya wibawa pemerintah Singasari. Selama ini hamba telah dipercaya sebagai pembuat senjata pusaka untuk perlengkapan tentara Singasari. Di samping hamba juga dipercaya mengelola senjata pusaka di ruang penyimpanan senjata Istana Singasari. Hamba telah berjanji akan bekerja sebaik-baiknya.

Namun, sekarang ini hamba mempunyai kesulitan yang bisa menghambat tugas-tugas yang dipercayakan pada hamba. Di desa hamba, Kurawan, ada seorang Mpu yang bernama Ranubhaya.

Dia sebenarnya ahli dalam pembuatan senjata pusaka. Hamba telah berulang kali mengajak kerjasama, namun dia menolak.

Malah akhir-akhir ini dia berani menghina pemerintah Singasari, bahkan menghina Sri Baginda Kertanegara sendiri. Untuk itu hamba mohon Sri Baginda menindak orang tersebut. Sebab kalau dibiarkan, hamba khawatir kelak kemudian hari bisa merongrong kewibawaan Sri Baginda." Arya Kamandanu meletakkan, kembali daun-daun tal itu seperti sedia kala. Darahnya tersirap, jantungnya berdebardebar mengetahui isi surat itu. Ia mengeraskan rahangnya hingga tampak menonjol kukuh, matanya yang tajam berkilat-kilat.

"Ohh, surat ini berbahaya sekali. Paman Ranubhaya bisa dihukum mati, kalau sampai terbukti menghina Prabu Kertanegara. Tapi, mengapa Ayah sampai hati melaporkannya? Apakah ada suatu sebab yang membuat mereka bermusuhan sampai begini? Ahh, aku jadi serba salah. Aku tidak tahu harus memihak pada siapa. Paman Ranubhaya sangat baik menurut penilaianku. Aku tak habis pikir mengapa ayah membencinya dan menganggapnya sebagai orang yang harus disingkirkan? Apakah ayah takut suatu ketika Paman Ranubhaya menjadi saingan berat dalam pembuatan senjata pusaka? Ohh, aku tidak mau ikut campur. Tapi kalau memang keadaan mendesak, aku harus berbuat sesuatu untuk menolong Paman Ranubhaya." Arya Kamandanu segera mengambil tindakan. Buruburu ia keluar dari ruang kerja ayahnya menuju bilik Bibi Rongkot pembantunya yang setia. Perlahan ia mendorong daun pintu perempuan tua itu yang selama ini tidak pernah dikancing dari dalam. Ia tersenyum ketika melihat perempuan tua itu sudah tidur. Kemudian pemuda itu kembali ke kamarnya sendiri dengan hati resah. Ia harus melakukan sesuatu untuk gurunya yang terancam bahaya.

Ia berusaha agar cepat tidur, namun pikiran-pikiran buruk menghantuinya hingga sampai pagi hari ia belum juga sempat memicingkan matanya. Untuk itulah ia segera bangkit dari pembaringan setelah mendengar kokok ayam ketiga. Suara-suara ternak juga meramaikan suasana di pagi itu. Didorong oleh rasa penasaran yang bersarang di hatinya ia segera menuju bilik Bibi Rongkot. Pemuda itu tersenyum melihat Bibi Rongkot sudah bangun. Ia berjingkat, melangkah hati-hati sekali agar tidak membuat perempuan tua itu terkejut dibuatnya. Perempuan tua itu menatap ke dinding dengan pandangan mata kosong seperti melamun. Ia sedang menikmati kinang sirih sambil melamun duduk di bibir dipan. Perempuan tua itu segera menghentikan kunyahannya ketika tahu siapa yang mendorong pintu kamarnya.

"Bi Rongkot?”

 “Ya, Ngger.”

 “Bibi tahu ke mana Ayah pergi semalam?”

 “Katanya beliau pergi ke rumah salah seorang sahabatnya, begitu. Entah sahabat yang mana Bibi tidak tahu, Ngger.”

 “Lama perginya, Bi?”

 “Barangkali tidak terlalu lama, Ngger. Sepertinya Bibi hanya terlelap sebentar. Bibi terbangun dan mendengar Ayahanda menuntun kuda ke kandangnya. Setelah itu, bibi mendengar suara pintu ruang kerja beliau terbuka dan tertutup. Mungkin beliau langsung tidur di ruang kerja, karena bibi tidak mendengar apa-apa lagi sampai menjelang pagi." Arya Kamandanu mau membalikkan tubuh tapi perempuan itu menegornya.

"Ehh, mau ke mana, Ngger?" Setelah mendengar keterangan Bibi Rongkot pemuda itu langsung membalikkan badannya, menjawab pertanyaan perempuan itu sambil lalu.

"Menemui ayahanda, Bi.”

 “Ayahanda sudah berangkat. Beliau hanya berpesan, agar Angger Kamandanu berhati-hati selama beliau tidak di rumah." Arya Kamandanu tidak melanjutkan langkahnya. Ia buru-buru memandang perempuan tua itu dengan mulut setengah menganga dan dahi berkerut hingga kedua alisnya yang tebal nyaris menyatu. Beberapa saat lamanya mereka saling pandang dalam diam. Udara pagi yang dingin tak mampu mendinginkan hati pemuda itu yang dilanda keresahan.Matanya merah karena lelah, marah dan kurang tidur. Ia melangkah lemas sambil memukul jidatnya dengan telapak tangan kanannya saking kesalnya.

Mpu Hanggareksa terus memacu kudanya menuju kota Singasari. Dalam hati dia sudah bertekad akan memfitnah sahabatnya sendiri. Dia merasa sakit hati dan merasa usahanya dijegal oleh Mpu Ranubhaya. Di samping sebenarnya dia merasa iri, bahwa tingkat kemampuannya membuat senjata pusaka masih di bawah sahabatnya itu.

Kuda cokelat tua itu membawa Mpu Hanggareksa menuju ke Singasari. Di belakangnya meninggalkan kepulankepulan debu yang menghalangi pandangan mata. Kuda itu berlari semakin lama semakin cepat hingga akhirnya lenyap di balik tikungan jalan yang menuju kotaraja Singasari.

Setelah berkuda hampir satu hari lamanya, dengan istirahat sejenak di beberapa desa yang dilewatinya, Mpu Hanggareksa dengan selamat bisa memasuki pintu gerbang Istana Singasari. Dia langsung menemui Pranaraja dan menginap di wisma pembesar Singasari itu, yang kemudian keesokan harinya membawanya menghadap Sang Prabu di Paseban Agung. Pagi itu segenap pejabat istana berkumpul di hadapan takhta Sang Prabu Kertanegara yang telah menerima laporan tertulis dari Mpu Hanggareksa.

Terdengar suara mendengung bisik-bisik dan geremeng obrolan mereka sebelum mendengarkan titah Sang Prabu Kertanegara. Terdengarlah gong dipukul dua kali pertanda tiba saatnya Sang Prabu Kertanegara bersabda. Seketika itu suasana menjadi hening dan sunyi. Khidmat penuh penghormatan.

Sang Prabu Kertanegara menghela napas dalam-dalam ketika hendak menyampaikan titahnya, "Aku sudah membaca dengan saksama laporan yang ditulis Paman Hanggareksa. Hmmmm! Apakah laporan ini bisa kupercaya?”

 “Ampun, Gusti Prabu. Laporan itu hamba tulis berdasarkan kenyataan yang ada. Tak ada perlunya hamba memfitnah seorang kawan. Sebagai seorang kawan baik, hamba justru ingin merangkul dan mengajak dia untuk kerja sama mengabdi pada pemerintah Singasari. Tapi begitulah. Mpu Ranubhaya orangnya keras. Hatinya sudah membeku seperti sebongkah es!" kembaliMpu Hanggareksa menghaturkan sembah sampai jidatnya menyentuh lantai paseban yang terbuat dari papan-papan jati yang sudah dihaluskan.

"Paman katakan Mpu Ranubhaya telah menghina pemerintah Singasari, bahkan telah berani menghina aku.

Apa yang sudah dikatakannya itu?”

 “Ampun, Gusti. Hamba tidak sanggup mengulangi perkataannya di depan para hadirin yang berkumpul di balai paseban agung ini. Karena hamba rasa perkataan itu sangat tidak pantas, kalau hamba tidak boleh menyebut sebagai sangat kotor.”

 “Hhhh? Kurang ajar benar si Ranubhaya itu. Apa yang diandalkannya hingga dia berani menghina Kertanegara? Hmmm, baiklah, Paman Hanggareksa. Aku memang tidak akan tinggal diam. Jelas aku akan mengambil tindakan yang tegas." Prabu Kertanegara menghela napas dan pandangannya tertuju pada seorang perwira gagah perkasa dengan kumis melintang tebal menghiasi bibirnya. Yang merasa dilihat menunduk sambil menghaturkan sembah dengan melipat tangan dan diangkat tepat di depan dadanya.

"Ranggalawe!”

 “Hamba, Gusti Prabu," suara itu besar, mantap dan dalam. Sekali lagi Ranggalawe menghaturkan sembah. Kali ini jidatnya sampai menyentuh ke lantai.

"Berangkatlah ke Kurawan! Bawalah serta dua puluh orang prajurit. Kau kuperintahkan untuk menasihati orang yang bernama Mpu Ranubhaya.”

 “Hamba, Gusti Prabu.”

 “Kalau dia tidak mau kaunasihati dan tidak mau mencabut kata-katanya yang telah menghina pemerintah Singasari dan bahkan menghina pribadi Kertanegara, tangkaplah orang itu. Kalau dia melawan, kuperintahkan agar kau membunuhnya.”

 “Baik, Gusti. Hamba siap menjalankan perintah Gusti.

Lalu kapan hamba harus berangkat?”

 “Sekarang juga. Kau bisa bersama-sama Paman Hanggareksa sebagai penunjuk jalan.”

 “Baik, Gusti. Perintah Gusti Prabu hamba junjung tinggi," lagi-lagi Ranggalawe menghaturkan sembah.

Dengan matanya yang tajam ia mencuri pandang ke arah junjungannya. Kemudian ia duduk seperti posisi sebelumnya dengan sekali-kali melirik ke arah Mpu Hanggareksa yang juga duduk menunduk penuh hormat.

Ranggalawe adalah seorang kepala pasukan yang membawahi dua ratus orang prajurit. Dia adalah putra Arya Wiraraja. Arya Wiraraja atau Banyak Wide telah dilorot kedudukannya sebagai Demung, dan sekarang menjadi seorang adipati di Sumenep.

Hari itu juga, begitu keluar dari paseban agung Istana Singasari, Ranggalawe langsung mengumpulkan orangorangnya Ikut dalam rombongan itu Pranaraja, Jarawaha dan Ganggadara. Rombongan yang terdiri dari dua puluh lima orang itu pun berangkat ke Kurawan. Debu-debu beterbangan di jalan ketika kuda-kuda mereka melewati pusat kota Singasari. Derap kaki kuda terdengar riuh rendah diselingi ringkikan-ringkikan perkasa. Dua puluh lima orang penunggang kuda itu begitu bersemangat mengendarai kuda hingga kuda yang ditunggangi mereka saling dahulu mendahului.



@@@

? Rombongan berkuda terus bergerak meninggalkan perbatasan kota Singasari, dengan mengendarai kuda hitam yang bernama Nila Ambara, Ranggalawe berada paling depan barisan. Sementara di belakangnya Mpu Hanggareksa yang berkuda berdampingan dengan Pranaraja. Di belakang mereka Jarawaha dan Ganggadara, yang dengan tangkas mengendarai kudanya masing-masing, sambil sekali-sekali menengok ke dua puluh orang prajurit di belakangnya Ketika matahari sudah mencapai ujung langit barat, barulah mereka sampai di suatu tempat yang memaksa mereka menginap di sana, sebab perjalanan menuju desa Kurawan tidak bisa dilalui dengan aman, jika malam hari.

Selain melewati tebing-tebing terjal gangguan begal, perampok dan para penjahat sering kali terjadi di sepanjang jalan menuju desa itu.

Rombongan itu berhenti di depan sebuah penginapan, yang lebih merupakan tempat tinggal penduduk biasa yang membuka warung di dalam rumah. Petang itu tampak beberapa orang duduk di serambi penginapan. Dua orang yang duduk di sana adalah pelayan penginapan itu, sedangkan dua orang lainnya adalah prajurit Singasari yang diutus Ranggalawe memesan kamar untuk beristirahat.

"Ehh, hehe. Apa yang bisa saya bantu, Tuan? Tuan berdua membutuhkan ruangan untuk istirahat malam ini?" tanya seorang pelayan yang sengaja dibuat-buat agar kelihatan sopan. Sikap pelayan itu membuat kurang senang kedua prajurit Singasari itu.

"Bukan berdua. Kami prajurit Singasari. Kami semua ada dua puluh lima orang," jawab Jarawaha kasar. "Ohh, ehh... jadi Tuan satu rombongan dengan prajurit-prajurit Singasari itu? Wah, wah... mana mungkin kami bisa menampung semuanya? Rumah penginapan ini kecil, Tuan.

Hanya ada lima belas ruangan. Itu pun ada dua kamar yang tidak bisa ditempati, karena membutuhkan perbaikan.”

 “Kami hanya membutuhkan lima kamar saja, pelayan," jelas Jarawaha ketus dan angkuh.

"Kau tidak usah pusing memikirkan di mana prajuritprajurit itu akan tidur malam ini. Mereka bisa memasang tenda di halaman rumah penginapan ini," tukas Ganggadara.

"Oooo, kalau begitu bisa, Tuan. Tentu saja bisa. Jadi, hanya lima ruangan yang harus kami siapkan? Baik. Baik, Tuan." Percakapan antara pelayan dengan Jarawaha dan Ganggadara itu didengarkan dengan baik oleh orang yang duduk di sudut serambi penginapan itu. Kedua orang itu sudah tahu, siapa kedua prajurit Singasari itu, maka seorang di antara mereka ingin membuat gara-gara. Salah seorang yang berbadan tegap dengan otot-otot menonjol itu kasar sekali menggebrak meja. Terdengar suara berderak karena ada cangkir yang menggelinding.

"Pelayan! Bukan hanya mereka itu yang menjadi tamu di rumah penginapan ini. Kami pun berhak untuk dilayani dengan baik." Lelaki berotot itu bangkit dan melotot pada pelayan.

"Oh, eh,...ya, Tuan. Tuan berdua membutuhkan apa?" tanya pelayan dengan wajah pucat pasi karena pelayan itu sudah tahu persis siapa kedua pemuda berotot itu.

"Tambah lagi mangkuk tuakku itu!" pinta yang seorang dengan kasar sekali.

"Jangan takut kami tidak akan membayar, pelayan," kata yang seorang yang lebih pendek.

"Ehh, ya. Ya, baik, Tuan. Sabar, akan saya ambilkan tuak buatan desa Apajeg yang paling enak. Silakan menunggu sebentar, Tuan.”

 “Jangan terlalu lama!" bentak pemuda yang tadi menggebrak meja. Keduanya saling bisik, bahwa sebelumnya mereka pernah bertemu dengan kedua prajurit Singasari yang memesan kamar.

"Hmmm, ya. Aku ingat. Kita bertemu di desa Jasun Wungkal beberapa waktu yang lalu.”

 “Aku juga masih belum lupa siapa kalian berdua ini.

Bukankah yang ini Jaran Bangkai?" sahut Jarawaha sambil menunjukkan telunjuk tangan kirinya. Mereka memang Jaran Bangkai dan Jaran Lejong. Ganggadara mengingat keduanya dengan baik dan ia melihat mereka dengan pandangan dingin. Beberapa saat mereka saling pandang dan tersenyum-senyum dengan angkuh, "Ingatan Tuan berdua masih cukup baik," kata Jaran Bangkai nyinyir.

"Apakah tuan-tuan kali ini juga mau ke Kurawan?" tanya Jaran Lejong berlagak bodoh. "Kalian tidak perlu tahu tujuan perjalanan kami," jawab Jarawaha ketus.

"Ahh, yaaaa... tuan-tuan adalah prajurit. Kami lupa, bahwa tuan-tuan sebagai prajurit tidak boleh berbicara sembarangan," tukas Jaran Bangkai sinis sekali.

Sejenak mereka diam karena pelayan tadi telah kembali dengan membawa tuak di nampan. Di atas nampan itu terletak sekendi tuak murni. Lalu pelayan itu menaruh sekendi tuak itu ke atas meja tepat di depan Jaran Bangkai dan Jaran Lejong.

"Heheheh. Ini tuaknya, Tuan! Hehehehe... silakan minum. Tapi...ehh, tapi....”

 “Tapi apa?" bentak Jaran Lejong tak sabar.

Pelayan itu menunduk sambil mencuri-curi pandang pada kedua berandal itu.

"Tapi maaf, Tuan jangan sampai mabok!" katanya terdengar ketakutan dan mundur beberapa tindak melirik ke arah prajurit Singasari dan kembali beralih pada Jaran Bangkai dan Jaran Lejong yang sudah meraih kendi tuak itu serta menuangkan isinya ke mangkuknya masing-masing.

"Apa urusanmu? Mau mabok atau mau jungkir balik, yang penting aku akan bayar tuakmu!" jawab Jaran Lejong tanpa menghiraukan pelayan itu lagi.

"Bukan begitu, Tuan. Soalnya sekarang ini sedang ada banyak tamu. Kebetulan mereka adalah prajurit-prajurit Singasari.”

 “Aku tidak peduli. Kami juga tamu di sini. Kami punya hak yang sama dengan mereka. Dan tidak ada peraturan minum tuak sampai mabok di rumah penginapan mana pun juga," tukas Jaran Lejong kasar sekali dan meneguk tuak langsung dari kendi.

"Bukan begitu, Tuan.Maksud saya, ehh....”

 “Jangan cerewet, pelayan! Nanti kusumbat mulutmu dengan kepalan tanganku ini!" bentak Jaran Bangkai dengan mulut masih penuh tuak sehingga cairan itu muncrat dari bibirnya. Jaran Bangkai menyorongkan mangkuknya yang sudah kosong dan minta dituangkan lagi.

Jaran Lejong segera menuangkan kendi tuak yang masih digenggamnya pada mangkuk Jaran Bangkai Ia letakkan kendi tuak itu pada meja agak kasar. Lalu mengangkat mangkuknya sendiri dan menenggak isinya sekali tenggak hingga asat.

"Ayo, Kakang Jaran Bangkai! Kita minum sepuas hati kita. Jangan hiraukan mereka itu." Demikianlah kedua berandal itu tidak menghiraukan kata-kata pelayan. Mereka minum tuak sampai matanya merah dan mulutnya berbusa karena terlalu banyak minum.

Keduanya memandang sinis sekali pada kedua prajurit Singasari yang berdiri dan melangkah pergi karena tidak ingin terjadi keributan di penginapan itu.

@@@


BERSAMBUNG

TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut (5)